Kamis, 04 Agustus 2011

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara
menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang;
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada huruf a telah
diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan
negara diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;
Mengingat : Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal
20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E,
dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
oleh Pemerintah Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki
oleh Pemerintah Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih.
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahuntahun
anggaran berikutnya.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Pasal 3
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun
ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi,
dan stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Pasal 4
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember.
Pasal 5
(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD
adalah mata uang Rupiah.
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri
Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan
dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 7
(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan
bernegara.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai
tugas sebagai berikut :
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undangundang;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan
undang-undang.
Pasal 9
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas
Negara;
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian
negara /lembaga yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian
negara /lembaga yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan
undang-undang.
Pasal 10
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf c :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat
pengelola APBD;
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah
mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan
undang- undang.
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat
dan pelak- sanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana
penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya
pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat
bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran
untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan
anggaran.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan
sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota
keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada
bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undangundang
yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang
tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilak- sanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun
dengan Peraturan Daerah.
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam
Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya
sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD
kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah
Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon
anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku
pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD
untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola
keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama
bulan Oktober tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan
undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan
kebijakan fiskal dan moneter.
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah
lain dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima
hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/
Perusahaan Daerah.
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima
pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan
daerah.
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara
setelah mendapat persetujuan DPR.
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah
setelah mendapat persetujuan DPRD.
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat
dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan
swasta setelah mendapat persetujuan DPR.
Pasal 25
(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola
dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola
dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih
lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambatlambatnya
pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama
antara DPR dan Pemerintah Pusat.
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas
APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau
disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun
anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambatlambatnya
pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama
antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas
APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia angga- rannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD,
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD
tahun angga- ran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) untuk menda- patkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan
APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Pasal 31
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Peme- riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan.
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu
komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undangundang
tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam
undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada
pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 35
(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan
negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan
uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang
mengenai perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah,
demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/ pemerintah
daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan
Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat berlakunya undang-undang ini :
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2860);
2. Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445;
3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;
sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambatlambatnya
1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 5 April 2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan
fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam
suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan
negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran
pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan
mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan
harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan
negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan
perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku
berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang
lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam
Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun
1968, yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische
Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief
Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan
pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de
Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang- undangan tersebut tidak
dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara
dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun
berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu
penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam
upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang
berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan
negara.
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah
dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang
tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan
selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan Keuangan Negara yang
Diatur dalam Undang-undang ini
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur
dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum
pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan
penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank
sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara
pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan
pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan
pemerintahan secara internasional.
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek,
subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara
meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada
kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi
tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung
jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai
dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara
perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke
dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan
keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas
maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik)
dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
�� akuntabilitas berorientasi pada hasil;
�� profesionalitas;
�� proporsionalitas;
�� keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
�� pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip
pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar
1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan
Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen
keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang
bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam
penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada
Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan
sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya
adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu
dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung
jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan
profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan,
perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian
kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota selaku pengelola
keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
dilakukan oleh bank sentral.
6. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini
meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan
pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas
kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan
penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen
kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian
serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk
meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas
peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai
penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan
dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai
dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa
setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus
mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di
sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran
berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk
menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam
sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan
anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja
kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor
publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang
digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut
dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran
yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar
akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik
keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan
anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya
pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan,
dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu
dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan
tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
dalam era globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem
perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai
dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework)
sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan
berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini
diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian
tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah,
Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta
Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara,
perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga
infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan
antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan badan
pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral
ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undangundang
ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana
perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal
penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan
negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan
bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima
pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
8. Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam
pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal
yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan
kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan
pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu,
penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan
alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD,
pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama
kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan
dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan
penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD
ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih
banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/ lembaga di lingkungan
pemerintah.
9. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang
memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah
yang telah diterima secara umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan
APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan
realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun
sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan
keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus
disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab
atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan
Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi
kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam
Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung
jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi
barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini
diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan
unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti
melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang
APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya
preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi
wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga
atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi
dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola
keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh
orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan
kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Pasal 3
Ayat (1)
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan,
penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara
dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi
kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan
prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan
pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian
negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan Penerimaan
Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan
pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN,
keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang
negara.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga
pemerintah nonkementerian negara.
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat
yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan
pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan.
Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka
pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab kementerian
negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang
timbul berdasarkan undang-undang/keputusan pengadilan.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas
dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai
atas penggunaan anggaran.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka
akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk prestasi
kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian
negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan,
ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum,
kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja
lain-lain.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui
pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman
dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertang-gungjawaban
antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan
dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang
tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat
daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan
keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata,
budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Pasal 17
Ayat (1)
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui
pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang
bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah
yang bersangkutan.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar
generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan
cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD
sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian
pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian
pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Pasal 24
Ayat (1)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian
pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini tidak termasuk
perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang
kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang
kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga
menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/lembaga.
Pasal 31
Ayat (1)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambatlambatnya
2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga
menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang diminta, Badan
Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya standar akuntansi pemerintahan yang
diajukan oleh Pemerintah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil yang harus dicapai
dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian negara/lembaga/pemerintahan daerah
yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undang-undang ini sudah harus
selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pelaksanaan penataan dimulai sejak
ditetapkannya Undang-undang ini dan sudah selesai dalam waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 39
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4286

Senin, 01 Agustus 2011

SURAT EDARAN

SURAT EDARAN PERBENDAHARAAN :

1. SE-21/PB/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerbitan Surat Ketetapan Pembagian (SKP) Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB)

SE-21/PB/2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORATJENDERALPERBENDAHARAAN

Yth.
1. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan
2. Para Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

SURAT EDARAN
NOMOR SE- 21 /PB/2011
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENERBITAN SURAT KETETAPAN PEMBAGIAN (SKP)
DANA BAGI HASIL PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (DBH PBB)

A. Umum
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2010 tentang
Tata Cara Penerimaan, Pembagian dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan
Bangunan, perlu diatur tentang mekanisme pelaksanaan penerbitan Surat Ketetapan
Pembagian (SKP) DBH PBB ,dalam hal terdapat permintaan pembayaran pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas beban Bank Operasionalill Pajak Bumi
dan Bangunan (BO III PBB). Penerbitan SKP dilaksanakan.setelah pembayaran pengembalian
kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dilaksanakan melalui penerbitan Surat
Perintah Pencairan Dana (SP2D) atas beban BO III PBB oleh. Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) berdasarkan Surat Perintah Membayar Kelebihan
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (SPMKP-PBB) yang disampaikan oleh Kantor
Pelayanan P.ajak(KPP).
B. Maksud dan Tujuan
Memberikan petunjuk kepada KPPN dalam pelaksanaan penerbitan SKP DBH PBB dalam hal
terdapat permintaan pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan
bangunan atas beban BO III PBB dari KPP.
C. Ruang Lingkup
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan ini mengatur petunjuk pelaksanaan
penerbitan SKP DBH PBB oleh Penerima Kuasa untuk memverifikasi, menerbitkan, dan
menandatangani SKP dalam hal terdapat SPMKP-PBB pada saatlsebelum SKP DBH PBB
diterbitkan.
2. Selain pengaturan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Surat Edaran Direktur Jenderal
Perbendaharaan ini juga mengatur:
a. Penyampaian SP2D dan Surat Perintah Transfer (SPT) ke BO III PBB.
b. Pembagian DBH PBB tiap sektor setelah dilakukan pembayaran SPMKP-PBB di BO III
PBB.
c. Pengembalian SPMKP-PBB.
D. Dasar
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan
dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran.Pajak.
2. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2010 tentang Tata Cara
Penerimaan, Pembagian dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan.
3. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
PER-11/PB/2011.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-01/PB/2011 tentang Petunjuk
Lebih Lanjut Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2010
tentang Tata Cara Penerimaan, Pembagian, dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi
dan Bangunan.
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-14/PB/2011 tentang Petunjuk
Teknis atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
E. Tata Cara Pelaksanaan
1. Penerbitan SKP DBH PBB.
Penerbitan SKP DBH PBB d.iKPPN diatur sebagai berikut:
a. SKP DBH PBB diterbitkan dengan mempedomani Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2010 tentang Tata Cara Penerimaan, Pembagian
dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-01/PB/2011 tentang P~tunjuk Lebih Lanjut
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2010 tentang Tata
Cara Penerimaan, Pembagian dan Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan
Bangunan.
b. KPPN tidak menerbitkan SKP DBH PBB dalam hal:
1) Rekening BO III PBB bersaldo nihil karena tidak terdapat penerimaan pelimpahan
penerimaan PBB dari Bank/Pos Persepsi PBB.
2) Pada saat SKP DBH PBB diterbitkan saldo rekening BO III PBB nihil atau
diperkirakan akan nihil karena telah dan/atau akan dilakukah pencairan SP2D atas
SPMKP-PBB.
c. Penerbitan SKP DBH PBB di KPPN dalam hal terdapat SPMKP-PBB dilakukan dengan
memperhatikan:
1) SP2D yang diterbitkan berdasarkan SPMKP-PBB yang disampaikan oleh KPP.
2) Laporan Harian Penerimaan (LHP) dari Bank·Persepsi PBB.
3) Nota Debet pelimpahan PBB dari Bank Persepsi PBB.
4) Nota Kredit penerimaan pelimpahan PBB dari BO III PBB.

d. SKP DBH PBB diterbitkan berdasarkan dana yang tersedia di BO III PBB setelah
memperhitungkan transaksi-transaksi pembayaran SPMKP-PBB atau SP2D
pengembalian kelebihan pembayaran PBB.
e. Dana yang tersedia di BO III PBB sebagaimana dimaksud pada huruf d, adalah dana
hasil penerimaan pelimpahan penerimaan PBB dari Bank/Pos Persepsi PBB pada
periode pelimpahan sebelumnya.
f. Dalam hal SKP DBH PBB telah diterbitkan dan belum dilaksanakan pembagian DBH
PBB, namun terdapat pengajuan SPMKP-PBB oleh KPP yang berdasarkan monitoring
dana di BO III PBB kabupaten/kota berkenaan cukup untuk dilaksanakan pembayaran
SPMKP-PBB/SP2D pengembalian kelebihan pembayaran PBB, maka KPPN
melakukan langkah-Iangkah sebagai berikut:
1) Membatalkan SKP.DBH PBB yang telah diterbitkan.
2) Melaksanakan pembayaran SPMKP-PBB dengan menerbitkan SP2D atas beban
BO III PBB sesuai ketentuan.
3) Menerbitkan SKP DBH PBB setelah memperhitungkan SPMKP-PBB/SP2D
pengembalian kelebihan pembayaran PBB.
g. Penerbitan SP2D agar memperhatikan waktu penyanipaian SP2D ke BO III PBB dan
kondisi geografis.
2. Penyampaian SP2D dan SPT ke BO III PBB.
a. SP2D yang diterbitkan berdasarkan SPM.KP-PBB
1) Disampaikan kepada BO III PBB sesuai tanggal SP2D paling lambat pukul 15.00
waktu setempat.
2) Dalam hal kondisi geografis tidak memungkinkan dilakukan pengantaran SP2D oleh
petugas yang ditunjuk, maka:
a) KPPN dapat mengirimkan SP2D nienggunakan sarana tercepat dan aman;
atau
b) KPPN dapat berkoordinasi dengan BO III PBB untuk pengiriman SP2D melalui
sarana faksimili terlebih dahulu dan kemudian· merigirimkan asli SP2D
menggunakan sarana tercepat dan aman.
b. SP2D pembagian DBH PBB Bagian Daerah dan SPT pembagian DBH PBB Bagian
Pemerintah Pusat dan Direktorat Jenderal Pajak.
1) Disampaikan kepada BO III PBB paling lambat pada. hari pembagian DBH PBB
dengan memperkirakan waktu penyampaian ke BO III PBB.
2) Dalam hal kondisi geografis tidak memungkinkan dilakukan pengantaran SP2D dan
SPT oleh petugas yang ditunjuk, maka:
a) KPPN dapat mengirimkan SP2D dan SPT menggunakan sarana tercepat dan
aman.
b) KPPN dapat berkoordinasi dengan BO III PBB untuk pengiriman SP2D dan
SPT melalui sarana faksimili terlebih dahulu dan kemudian mengirimkan asli
SP2D dan SPT menggunakan sarana tercepat dan aman.
c. Penyampaian SP2D dan SPT sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
dilaksanakan dengan memperhatikan tanggal SP2D dan SPT.
3. Pembagian DBH PBB tiap sektor setelah dilakukan pembayaran SPMKP-PBB di BO III
PBB.
a. SPMKP-PBB dibebankan pada pendapatan pajak tahun anggaran berjalan, yaitu akun
yang sama dengan akun pada saat diakuinya pendapatan pajak semula.
b. SPMKP-PBB dapat diterbitkan SP2D sepanjang dananya tersedia di BO III PBB
kabupaten/kota berkenaan.
c. Saldo BO III PBB setelah dilakukan pembayaran SPMKP-PBB dibagi secara
proporsional ke 5 (lima) sektor yaitu Sektor Pedesaan, Sektor Perkotaan, Sektor
Perkebunan, Sektor Perhutanan,dan Sektor Pertambangan di BO III PBB kabupatenl
kota berkenaan.
d. Saldo BO III PBB per sektor sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan
pembagian DBH PBB sesuai ketentuan.
e. Pembayaran SPMKP-PBB tidak dapat dibebankan lintas BO III PBB kabupaten/kota.
f. Dalam hal hasil perhitungan secara proporsional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
menghasilkan angka pecahan desimal maka jumlah angka tersebut dibulatkan untuk
sektor yang penerimaannya paling besar.
g. lIustrasi pembagian saldo BO III PBB kabupaten/kota tiap sektor penerimaan PBB
secara proporsional setelah dilakukan pembayaran SPMKP-PBB adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan ini.
4. Pengembalian SPMKP-PBB kepada KPP.,
a. Penerbitan SP2D oleh KPPN berdasarkan SPMKP-PBB yang disampaikan oleh KPP.
b. Dalam hal dana yang tersedia di BO III PBB kabupaten/kota berkenaan tidak
mencukupi untuk pembayaran SPMKP-PBB, maka SPMKP-PBB dimaksud
dikembalikan ke KPP.
c. Terhadap SPMKP-PBB yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
KPPN melakukan langkah-Iangkah:
1) SPMKP-PBB dapat disampaikan kembali setelah dananya tersedia di BO III PBB
berdasarkan informasi yang disampaikan KPPN.
2) KPPN tidak melaksanakan pembagian DBH PBB untuk BO III PBB kabupaten/kota
berkenaan sampai dana di BO III PBB tersebut mencukupi untuk melakukan
pembayaran SPMKP-PBB.
3) Pengumpulan Dana di BO III PBB dibatasi sampai dengan 4 (empat) periode
pembagian DBH PBB berturut-turut.
4) KPPN tidak melaksanakan pembagian DBH PBB untuk BO III PBB kabupaten/kota
berkenaan selama dilaksanakan pengumpulan dana di BO III PBB terse but.
5) KPPN memberitahukan kepada KPP dan Pemerintah Daerah terkait bahwa sedang
dilakukan pengumpulan dana di BO III PBB untuk pembayaran SPMKP-PBB
sehingga pembagian DBH PBB tidak dilaksanakan paling lama selama 4 (empat)
periode pembagian DBH PBB berturut-turut.
6) Dalam hal pengumpulan dana di BO III PBB sampai 4 (empat) periode pembagian
DBH PBB belum mencukupi untuk dilaksanakan pembayaran SPMKP-PBB, KPPN
melaksanakan pembagian DBH PBB kepada yang berhak sesuai ketentuan.
7) Terhadap SPMKP-PBB yang tidak dapat dilaksanakan pembayaran karena sampai
dengan 4 (empat) periode pembagian OBH PBB berturut-turut tidak cukup dana di
BO III PBB, KPPN menyampaikan permasalahan tersebut kepada Kantor Pusat
Oirektorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Oirektorat Pengelolaan Kas Negara.
d. KPPN membuat kartu pengawasan atas pengembalian SPMKP-PBB karena dananya
tidak mencukupi di BO III PBB dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II Surat Edaran Oirektur Jenderal Perbendaharaan ini.
5. KPPN memberitahukan kepada Pemerintah Oaerah terkait setiap pembayaran SPMKPPBB,
dengan penjelasan bahwa SPMKP-PBB yang disampaikan oleh KPP kepada KPPN
mengurangi OBH PBB yang dibagihasilkan kepada Pemerintah Oaerah sesuai ketentuan.
F. Ketentuan Penutup
1. Kepala KPPN agar menyampaikan maksud Surat Edaran ini kepada Pemerintah Oaerah
dan BO III PBB mitra kerja masing-masing;
2. Kepala Kantor Wilayah Oirektorat Jenderal Perbendaharaan diminta untuk mengawasi
pelaksanaan Surat Edaran ini.
Demikian untuk dipedomani dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2011

DIREKTUR JENDERAL,

AGUS SUPRIJANTO
NIP 195308141975071 001
Tembusan:
1. Sekretaris Oirektorat Jenderal Perbendaharaan
2. Para Direktur di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendahaan

PER-78/PB/2006

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN
NOMOR PER-78/PB/2006
TENTANG
PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA
MELALUI MODUL PENERIMAAN NEGARA
DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN,

Menimbang : 
a. bahwa penatausahaan penerimaan negara perlu dilakukan secara cepat,
tepat, dan efisien agar menghasilkan laporan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
b. bahwa guna menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a
diperlukan suatu sistem penerimaan negara yang terpadu;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
tentang Penatausahaan Penerimaan Negara melalui Modul Penerimaan
Negara;

Mengingat : 
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4400);
4. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4214), sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4418);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan
Perkiraan Standar;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul
Penerimaan Negara;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : 

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN TENTANG
PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA MELALUI MODUL
PENERIMAAN NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini, yang dimaksud
dengan:
1. Modul Penerimaan Negara, yang selanjutnya disebut MPN adalah modul
penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan,
penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai
dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan
merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
2. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk
menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar
pengeluaran negara.
3. Rekening Kas Umum Negara, yang selanjutnya disebut Rekening KUN
adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung
seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara
pada Bank Sentral.
4. Rekening Penerimaan adalah rekening untuk menampung penerimaan
negara pada bank umum/badan lainnya.
5. Kantor Bank Indonesia, yang selanjutnya disebut KBI adalah kantor
cabang dari Bank Indonesia selaku Bank Tunggal yang terdapat di
beberapa kota di Indonesia dan menjadi mitra kerja KPPN yang satu kota
dengannya.
6. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, yang selanjutnya disebut
KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
7. Bank Operasional I, yang selanjutnya disebut BO I adalah bank
operasional mitra Kuasa BUN di daerah yang menyalurkan dana APBN
untuk pengeluaran non-gaji bulanan (termasuk kekurangan gaji dan gaji
susulan) dan Uang Persediaan.
8. Bank Operasional III, yang selanjutnya disebut BO III adalah bank
operasional yang melakukan pembagian PBB/BPHTB dan upah pungut
PBB/BPHTB serta membayar pengembalian PBB dan BPHTB.
9. Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah, yang selanjutnya disebut
Kuasa BUN di daerah adalah Kepala KPPN.
10. Surat Perintah Membayar, yang selanjutnya disebut SPM adalah dokumen
yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber
dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
11. Surat Perintah Pencairan Dana, yang selanjutnya disebut SP2D adalah
surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk
pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
12. Treasury Single Account, yang selanjutnya disebut TSA adalah
pelaksanaan Rekening Pengeluaran Bersaldo Nihil pada Bank Umum Mitra
KPPN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/
PMK.06/2006.
13. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor,
yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan
bukan pajak.
14. Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara dalam rangka
ekspor dan impor.
15. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk menerima setoran penerimaan negara.
16. Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi selanjutnya disebut Bank/
Pos.
17. Dokumen Sumber Penerimaan, yang selanjutnya disebut Dokumen
Sumber adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencatatan
penerimaan negara sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan ini.
18. Laporan Harian Penerimaan, yang selanjutnya disebut LHP adalah laporan
harian penerimaan negara yang dibuat oleh Bank/Pos yang berisi
Rekapitulasi Penerimaan dan Pelimpahan, Rekapitulasi Nota Kredit, dan
Daftar Nominatif Penerimaan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini.
19. Arsip Data Komputer, yang selanjutnya disebut ADK adalah arsip data
berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data
transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.
20. Nomor Transaksi Penerimaan Negara, yang selanjutnya disebut NTPN
adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan
melalui MPN.
21. Nomor Transaksi Bank, yang selanjutnya disebut NTB adalah nomor bukti
transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank.
22. Nomor Transaksi Pos, yang selanjutnya disebut NTP adalah nomor bukti
transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Pos.
23. Nomor Penerimaan Potongan, yang selanjutnya disebut NPP adalah
nomor bukti transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM
yang diterbitkan.
24. Unit terkait adalah instansi yang bertugas menatausahakan penerimaan
negara, antara lain Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, dan Satuan Kerja.
25. Keadaan Kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan
manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat
dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

BAB II
DOKUMEN SUMBER

Pasal 2
Dokumen Sumber antara lain:
1. Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat setoran atas pembayaran atau
penyetoran pajak yang terutang;
2. Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (SSPBB) adalah surat setoran
atas pembayaran atau penyetoran PBB dari tempat pembayaran ke Bank
Persepsi PBB;
3. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) adalah
surat setoran atas pembayaran atau penyetoran BPHTB dari tempat
pembayaran ke Bank Persepsi BPHTB;
4. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP)
adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa
bea masuk, bea masuk berasal dari SPM Hibah, denda administrasi,
penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa
pekerjaan, bunga, dan PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, serta PPnBM
Impor;
5. Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP) adalah surat setoran
atas penerimaan negara atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri
berupa cukai hasil tembakau, cukai etil alkohol, cukai minuman
mengandung etil alkohol, denda administrasi penerimaan cukai lainnya,
jasa pekerjaan, dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
6. Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) adalah surat setoran atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) selain yang dimaksud pada angka 1, 2, 3, 4,
dan 5 di atas;
7. Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB) adalah surat setoran atas
penerimaan pengembalian belanja tahun anggaran berjalan;
8. Surat Tanda Bukti Setor (STBS) adalah surat setoran atas pembayaran
pungutan ekspor, kekurangan pungutan ekspor, dan/atau denda
administrasi atas transaksi pungutan ekspor;
9. Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah dokumen yang diterbitkan oleh
Bank/Pos atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan
NTB/NTP dan dokumen yang diterbitkan oleh KPPN atas transaksi
penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM dengan teraan NTPN
dan NPP.

BAB III
PENGESAHAN PENERIMAAN NEGARA

Pasal 3
(1) Setiap transaksi penerimaan negara harus mendapat NTPN.
(2) Penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib
Setor/Bendahara Penerimaan diakui pada saat masuk ke Rekening Kas
Negara dan mendapatkan NTPN.
(3) NTPN dan NTB yang terdapat pada dokumen sumber merupakan
pengesahan atas penerimaan negara melalui Bank.
(4) NTPN dan NTP yang terdapat pada dokumen sumber merupakan
pengesahan atas penerimaan negara melalui Pos.
(5) NTPN dan NPP merupakan pengesahan atas penerimaan negara yang
berasal dari potongan SPM.

BAB IV
TATA CARA PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA

Pasal 4
(1) Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan dapat
melakukan pembayaran setiap saat melalui Bank/Pos yang terhubung
dengan MPN.
(2) Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib
Setor/Bendahara Penerimaan diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai
dengan tanggal pembayaran.
(3) Tata cara penyetoran penerimaan negara oleh Wajib Pajak/Wajib
Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan diatur sebagai berikut:
a. Pembayaran melalui loket/teller Bank/Pos
1. Mengisi formulir bukti setoran dengan data yang lengkap, benar, dan
jelas dalam rangkap 4 (empat);
2. Menyerahkan formulir bukti setoran kepada petugas Bank/Pos
dengan menyertakan uang setoran sebesar nilai yang tersebut
dalam formulir yang bersangkutan;
3. Menerima kembali formulir bukti setoran lembar ke-1 dan lembar ke-
3, yang telah diberi NTPN dan NTB/NTP serta dibubuhi tanda
tangan/paraf, nama pejabat Bank/Pos, cap Bank/Pos, tanggal, dan
waktu/jam setor sebagai bukti setor;
4. Menyampaikan bukti setoran kepada unit terkait.
b. Pembayaran melalui electronic banking (e-banking)
1. Melakukan pendaftaran pada sistem registrasi pembayaran via
internet di www.djpbn.depkeu.go.id;
2. Mengisi data setoran dengan lengkap dan benar untuk mendapatkan
Nomor Register Pembayaran (NRP). Masa berlaku NRP sampai
dengan jangka waktu yang ditetapkan;
3. Untuk tagihan yang ditetapkan instansi pemerintah, pendaftaran
dilakukan oleh instansi terkait dan NRP tercantum pada surat
tagihan dimaksud;
4. Melakukan pembayaran dengan menggunakan NRP;
5. Menerima NTPN sebagai bukti pengesahan setelah pembayaran
dilakukan;
6. Mencetak BPN melalui sistem registrasi pembayaran atau di Bank
dengan menunjukkan NTPN/NTB;
7. Menyampaikan BPN kepada unit terkait.

BAB V
PENATAUSAHAAN, PELIMPAHAN, DAN PELAPORAN PENERIMAAN
NEGARA PADA BANK/POS

Pasal 5
(1) Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak/Wajib
Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan, Bank/Pos dapat menggunakan
jasa Application Service Provider (ASP).
(2) Bank/Pos wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan atas penggunaan jasa ASP dengan menyampaikan
fotokopi nota kesepakatan yang telah dibuat antara Bank/Pos dengan ASP.
(3) Bank/Pos bertanggung jawab terhadap keamanan data penerimaan negara
sehubungan dengan penggunaan jasa ASP.
(4) Biaya yang timbul atas penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi tanggung jawab Bank/Pos.

Pasal 6
(1) Tata cara penatausahaan penerimaan setoran melalui loket/teller Bank/Pos
diatur sebagai berikut:
a. Menerima surat setoran penerimaan negara dalam rangkap 4 (empat)
dan meneliti kelengkapan pengisian dokumen dan uang yang
disetorkan;
b. Mengkredit setoran ke rekening Persepsi, Devisa Persepsi, PBB, atau
BPHTB sesuai jenis setoran yang diterima;
c. Melakukan pengesahan dengan menerbitkan BPN setelah mendapatkan
NTPN dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan lembar ke-1 dan
ke-3 untuk penyetor, lembar ke-2 untuk KPPN, dan lembar ke-4 untuk
Bank/Pos;
d. Surat setoran yang sudah disahkan dan ditandatangani petugas
Bank/Pos, lembar ke-1 dan ke-3 disampaikan kepada penyetor, lembar
ke-2 untuk KPPN, dan lembar ke-4 untuk Bank/Pos;
e. Menerbitkan BPN atas setoran yang diterima melalui Cabang/Cabang
Pembantu Bank/Pos yang on-line setelah mendapatkan NTPN dari
MPN.
(2) Tata cara penatausahaan penerimaan setoran melalui e-banking diatur
sebagai berikut:
a. Mengkredit setoran ke Rekening Kas Negara yang diterima melalui
fasilitas e-banking yang dilakukan oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib
Setor/Bendahara Penerimaan berdasarkan NRP yang dihasilkan dari
Sistem Registrasi Pembayaran;
b. Menginformasikan NTPN dan NTB kepada pihak penyetor melalui media
e-banking;
c. Mencetak BPN sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi gangguan jaringan komunikasi antara Kantor Pusat
Bank/Pos dan Kantor Cabang/Pos serta antara Kantor Pusat Bank/Pos dan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan, maka dilakukan
prosedur perekaman ulang pada hari yang sama dengan hari penyetoran
tanpa mengubah NTB/NTP.
(2) Prosedur perekaman ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:
a. Meneliti kelengkapan pengisian dokumen dan uang yang disetorkan;
b. Membubuhkan NTB/NTP dan tanggal serta membubuhkan cap dan
tanda tangan pejabat Bank/Pos yang berwenang;
c. Menyerahkan BPN yang telah dibubuhi cap dan tanda tangan kepada
Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/Bendahara Penerimaan.
(3) Dalam hal terjadi kesalahan perekaman atas elemen-elemen data, maka
Bank/Pos melakukan prosedur pembalikan (reversal) sebelum dilakukan
penyampaian LHP ke KPPN.
(4) Prosedur reversal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Reversal hanya dapat dilakukan untuk perbaikan transaksi yang tidak
mengakibatkan uang keluar dari Kas Negara;
b. Reversal dilakukan sebelum Bank/Pos menyampaikan LHP, DNP, dan
Rekapitulasi Nota Kredit ke KPPN mitra kerjanya dan sebelum
rekonsiliasi data dilakukan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Perbendaharaan;
c. Dalam hal ditemukan kesalahan perekaman setelah dilakukan
rekonsiliasi maka Bank/Pos memberitahukan secara tertulis ke Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang perbaikan transaksi yang mengakibatkan
uang keluar dari Kas Negara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.

Pasal 8
(1) Bank/Pos melakukan pelimpahan penerimaan negara kecuali PBB/BPHTB
setiap hari Selasa dan Jumat atau hari kerja berikutnya jika Selasa dan
Jumat adalah hari libur, dan tanggal 1 (satu) atau hari kerja pertama setiap
bulan ke Rekening KUN/Rekening BO I dengan ketentuan:
a. selambat-lambatnya pada hari Selasa pukul 10.00 waktu setempat untuk
penerimaan hari Kamis setelah pukul 15.00 sampai dengan hari Senin
pukul 15.00 waktu setempat;
b. selambat-lambatnya pada hari Jumat pukul 10.00 waktu setempat untuk
penerimaan hari Senin setelah pukul 15.00 sampai dengan hari Kamis
pukul 15.00 waktu setempat.
(2) Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan ke Rekening
KUN dalam hal KPPN dimaksud sekota dengan KBI atau KPPN dimaksud
tidak sekota dengan KBI namun telah melaksanakan uji coba TSA.
(3) Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan ke Rekening
BO I dalam hal KPPN dimaksud tidak sekota dengan KBI dan belum
melaksanakan uji coba TSA.
(4) Bank/Pos melakukan pelimpahan penerimaan PBB/BPHTB ke BO III setiap
hari Jumat atau hari kerja berikutnya jika hari Jumat adalah hari libur,
dengan ketentuan melimpahkan penerimaan PBB/BPHTB selambatlambatnya
pada hari Jumat pukul 10.00 waktu setempat untuk penerimaan
hari Kamis setelah pukul 15.00 minggu sebelumnya sampai dengan hari
Kamis pukul 15.00 waktu setempat.

Pasal 9
(1) Bank/Pos wajib menyampaikan laporan atas penerimaan negara kepada
KPPN setempat setiap hari.
(2) Bank/Pos dapat menerima setoran penerimaan negara dengan mengkredit
Rekening Kas Negara pada Bank/Pos cabang lain pada Bank/Pos yang
sama.
(3) Bank/Pos yang menerima setoran dari Bank/Pos cabang lain melaporkan
penerimaan negara termasuk yang diterima oleh Bank/Pos cabang lain ke
KPPN.
(4) Bank/Pos menyusun laporan harian atas penerimaan negara dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. LHP berisi penerimaan negara yang diterima setelah pukul 15.00 waktu
setempat pada hari sebelumnnya sampai dengan penerimaan negara
pukul 15.00 hari yang bersangkutan;
b. LHP yang disusun terdiri dari Rekapitulasi Penerimaan dan Pelimpahan,
Rekapitulasi Nota Kredit, dan DNP;
c. LHP disusun per nomor rekening penerimaan dan DNP disusun menurut
MAP dan NTB/NTP;
d. LHP, BPN, dan ADK disampaikan ke KPPN paling lambat pada pukul
09.00 waktu setempat hari kerja berikutnya;
e. LHP segera diperbaiki apabila ditemukan kesalahan oleh KPPN dan
mengirimkannya kembali selambat-lambatnya pada pukul 17.00 waktu
setempat;
f. Menyampaikan surat pemberitahuan sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini apabila
terjadi gangguan pada sistem dan mengakibatkan terlambat
memperoleh NTPN dan/atau menyusun LHP.
(5) Kantor Pusat Bank/Pos mengirimkan data transaksi penerimaan negara
secara batch ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling
lambat pukul 16.00 WIB.

BAB VI
PENATAUSAHAAN PENERIMAAN NEGARA PADA KPPN

Pasal 10
(1) KPPN mengesahkan data penerimaan yang berasal dari potongan SPM
yang sudah diterbitkan SP2D untuk mendapatkan NTPN paling lambat
setiap akhir hari kerja.
(2) Tata cara penatausahaan penerimaan negara oleh KPPN adalah sebagai
berikut:
a. Seksi Bendahara Umum/Seksi Persepsi
1. Menerima LHP yang terdiri dari Laporan Penerimaan dan
Pelimpahan, Rekapitulasi Nota Kredit, DNP, ADK, dan Dokumen
Sumber dari Bank/Pos;
2. Untuk LHP yang tidak dilengkapi NTPN harus disertakan surat
keterangan penyebab terjadi gangguan komunikasi yang
menyebabkan NTPN tidak dapat diperoleh. LHP tersebut dipakai
hanya sebagai monitoring penerimaan dan bukan dipakai sebagai
dasar pembukuan;
3. Melakukan loading ADK yang diterima ke dalam sistem rekonsiliasi
data transaksi penerimaan;
4. Meneliti dokumen sumber berikut DNP baik mengenai jumlah uang,
jenis setoran, maupun Mata Anggaran Penerimaan (MAP) dan
membubuhkan paraf pada setiap halaman dan tanda tangan pada
lembar terakhir DNP;
5. Apabila terjadi perbedaan antara DNP dengan ADK, KPPN harus
mengembalikan LHP tersebut untuk segera dilakukan perbaikan;
6. Mencocokkan data yang tercantum dalam Rekapitulasi Nota Kredit
dengan data yang tercantum dalam setiap DNP dimaksud dan
membubuhkan paraf pada Rekapitulasi Nota Kredit dimaksud;
7. Melakukan download data transaksi harian penerimaan dari Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan mulai pukul 15.00
sampai pukul 16.00 waktu setempat;
8. Mencocokkan data hasil download dengan ADK dari Bank/Pos
menggunakan sistem aplikasi rekonsiliasi data transaksi
penerimaan;
9. Mengirimkan hasil rekonsiliasi data ke Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Perbendaharaan;
10. Menyampaikan DNP dan surat setoran dan/atau BPN lembar ke-2
ke Seksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum.
b. Seksi Bank/Giro Pos/Seksi Bendahara Umum
1. Melakukan upload data potongan SPM yang sudah diterbitkan SP2D
melalui sistem pengesahan potongan SPM untuk mendapatkan
NTPN;
2. Menerbitkan BPN untuk transaksi penerimaan negara yang berasal
dari potongan SPM dengan mencantumkan NTPN dan NPP sebagai
bukti pengesahan penerimaan negara dan menggabungkan dengan
surat setoran masing-masing;
3. Membuat DNP atas penerimaan negara yang berasal dari potongan
SPM;
4. Untuk keperluan penyusunan LKP, membukukan penerimaan
negara yang bersumber dari Bank, Pos, dan potongan SPM yang
telah mendapatkan NTPN/NTB, NTPN/NTP, dan NTPN/NPP;
5. Melakukan perbaikan apabila ditemukan kesalahan elemen data
dalam potongan SPM setelah mendapatkan NTPN melalui prosedur
reversal.
c. Seksi Verifikasi dan Akuntansi
Memposting penerimaan negara berdasarkan dokumen sumber
penerimaan yang telah mendapatkan NTPN/NTB, NTPN/NTP, dan
NTPN/NPP.

BAB VII
REKONSILIASI

Pasal 11
(1) Rekonsiliasi dilakukan secara elektronik dengan membandingkan data
yang diterima secara on-line dengan data yang dikirim oleh Kantor Pusat
Bank/Pos kepada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan
secara batch.
(2) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan hasil
rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pusat
Bank/Pos paling lambat 1 (satu) jam setelah menerima data dari Kantor
Pusat Bank/Pos. Contoh format Berita Acara Rekonsiliasi sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan ini.
(3) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan perbaikan
data berdasarkan Nota Perbaikan yang diterima dari Kantor Pusat
Bank/Pos dan menyampaikan hasil perbaikan kepada KPPN mitra kerja
Cabang Bank/Pos berkenaan. Bentuk Nota Perbaikan dan formulir
perekaman ulang sebagaimana ditetapkan masing-masing dalam Lampiran
V dan VI Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini.

BAB VIII
KEADAAN KAHAR

Pasal 12
Dalam hal terjadi gangguan jaringan komunikasi antara Kantor Pusat Bank/Pos
dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih dari 1 (satu)
hari, maka Bank/Pos melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Wajib menerima setoran penerimaan negara;
2. Mengadministrasikan penerimaan negara secara off-line dan memberikan
NTB/NTP pada bukti setor;
3. Memberitahukan secara tertulis kepada KPPN mitra kerjanya atas penyebab terjadinya gangguan jaringan komunikasi sebagaimana ditetapkan dalam lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini.
4. Melakukan prosedur perekaman ulang pada saat jaringan komunikasi telah dapat berjalan normal.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2006
Direktur Jenderal


Herry Purnomo