Selasa, 15 Januari 2013

PMK 190 PMK 05 2012

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 190 /PMK.05/2012
TENTANG
TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA
PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
134/PMK.06/2005, telah diatur ketentuan mengenai
pedoman pembayaran dalam pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
b. bahwa sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan kebijakan
dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
c. bahwa untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang lebih tertib, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab, perlu mengatur
kembali ketentuan mengenai pedoman pembayaran dalam
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4400);
- 2 -
4. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 213, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA
PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya
disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
2. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut
DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang
digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan
APBN.
3. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang
bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian
Negara/Lembaga yang bersangkutan.
4. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/
lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga
negara.
5. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah
pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
Kementerian Negara/Lembaga.
6. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA
adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk
melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab
penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga
yang bersangkutan.
7. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut
nomenklatur Kementerian Negara/Lembaga dan menurut
fungsi Bendahara Umum Negara.
8. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN
adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi
BUN.
- 3 -
9. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan
10. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya
disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal
Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk
melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
11. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit
organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit
organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan
Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan
tanggung jawab penggunaan anggaran.
12. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK
adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat
mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
13. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang
selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi
kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas
permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah
pembayaran.
14. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk
menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan,
dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan
Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada
kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.
15. Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya
disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu
Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran
kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan
tertentu.
16. Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang
selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang
diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengelola
pelaksanaan belanja pegawai.
17. Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang
muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada
Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan
operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran
yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan
melalui mekanisme pembayaran langsung.
- 4 -
18. Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran
LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada
Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar
perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat
perintah kerja lainnya melalui penerbitan Surat Perintah
Membayar Langsung.
19. Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP
adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara
Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak
dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah
ditetapkan.
20. Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang
selanjutnya disingkat PTUP adalah pertanggungjawaban
atas TUP.
21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat
SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi
permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
22. Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya
disebut SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK,
dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima
hak/ Bendahara Pengeluaran.
23. Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang
selanjutnya disebut SPP-UP adalah dokumen
yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan
pembayaran UP.
24. Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan
yang selanjutnya disebut SPP-TUP adalah dokumen yang
diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran
TUP.
25. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan
yang selanjutnya disebut SPP-GUP adalah dokumen yang
diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan
permintaan kembali pembayaran UP.
26. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan
Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah
dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi
pertanggungjawaban UP.
27. Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPPPTUP
adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi
permintaan pertanggungjawaban atas TUP.
- 5 -
28. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM
adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk
mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
29. Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya
disebut SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh
PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA
dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima
hak/Bendahara Pengeluaran.
30. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya
disebut SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh
PPSPM untuk mencairkan UP.
31. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang
selanjutnya disebut SPM-TUP adalah dokumen yang
diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.
32. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang
selanjutnya disebut SPM-GUP adalah dokumen yang
diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang
dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah
dipakai.
33. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil
yang selanjutnya disebut SPM-GUP Nihil adalah dokumen
yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban
UP yang membebani DIPA.
34. Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan
Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPM-PTUP adalah
dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai
pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA.
35. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut
SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN
selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas
beban APBN berdasarkan SPM.
36. Bagan Akun Standar yang selanjutnya disingkat BAS adalah
daftar perkiraan buku besar meliputi kode dan uraian
organisasi, fungsi dan sub fungsi, program, kegiatan, output,
bagian anggaran/unit organisasi eselon I/Satker dan kode
perkiraan yang ditetapkan dan disusun secara sistematis
untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan anggaran,
serta pertanggungjawaban dan laporan keuangan pemerintah
pusat.
37. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat
PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang
tidak berasal dari pajak.
- 6 -
38. Bank Operasional adalah bank umum yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan selaku BUN atau pejabat yang diberi
kuasa untuk melaksanakan pemindahbukuan sejumlah
uang dari Kas Negara ke rekening sebagaimana yang
tercantum dalam SP2D.
39. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah
arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam
media penyimpanan digital.
40. Gaji Induk adalah gaji yang dibayarkan secara rutin bulanan
kepada pegawai negeri yang telah diangkat oleh pejabat yang
berwenang dengan surat keputusan sesuai ketentuan
perundang-undangan pada Satker yang meliputi gaji pokok
dan tunjangan yang melekat pada gaji.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara pembayaran
dalam rangka pelaksanaan APBN selain tata cara pembayaran
dalam rangka pelaksanaan APBN untuk Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan dan
Tentara Nasional Indonesia.
BAB III
DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN
Pasal 3
(1) DIPA berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran negara
setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan selaku
BUN.
(2) Alokasi dana yang tertuang dalam DIPA merupakan batas
tertinggi pengeluaran negara.
(3) Pengeluaran negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak boleh dilaksanakan jika alokasi dananya tidak tersedia
atau tidak cukup tersedia dalam DIPA.
(4) Khusus pelaksanaan pengeluaran negara untuk pembayaran
gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji dapat melampaui
alokasi dana gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji
dalam DIPA, sebelum dilakukan perubahan/revisi DIPA.
\
- 7 -
BAB IV
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA
Bagian Kesatu
Pengguna Anggaran
Pasal 4
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku penyelenggara urusan
tertentu dalam pemerintahan bertindak sebagai PA atas
Bagian Anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan
kewenangannya tersebut.
(2) Menteri Keuangan, selain sebagai PA atas Bagian Anggaran
untuk kementerian yang dipimpinnya, juga bertindak selaku
PA atas Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam
Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu.
(3) Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. Pengelolaan Utang;
b. Pengelolaan Hibah;
c. Pengelolaan Investasi Pemerintah;
d. Pengelolaan Penerusan Pinjaman;
e. Pengelolaan Transfer ke Daerah;
f. Pengelolaan Subsidi;
g. Pengelolaan Transaksi Khusus; dan
h. Pengelolaan Anggaran lainnya.
(4) Dalam mengelola Bagian Anggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Menteri Keuangan menunjuk pejabat setingkat
eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk
menjalankan fungsi PA.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab
PA dan tata cara pembayaran atas Bagian Anggaran yang
tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
- 8 -
Bagian Kedua
Kuasa Pengguna Anggaran
Pasal 5
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA berwenang:
a. menunjuk kepala Satker yang berstatus Pegawai Negeri
Sipil untuk melaksanakan kegiatan Kementerian
Negara/Lembaga sebagai KPA; dan
b. menetapkan Pejabat Perbendaharaan Negara lainnya.
(2) Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bersifat ex-officio.
(3) Pejabat Perbendaharaan Negara lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi PPK dan PPSPM.
(4) Kewenangan PA untuk menetapkan Pejabat Perbendaharaan
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilimpahkan kepada KPA.
(5) Setiap terjadi pergantian jabatan kepala Satker, setelah serah
terima jabatan pejabat kepala Satker yang baru langsung
menjabat sebagai KPA.
(6) PA dapat menunjuk pejabat lain selain kepala Satker sebagai
KPA dalam hal:
a. Satker dipimpin oleh pejabat yang bersifat komisioner;
b. Satker dipimpin oleh pejabat Eselon I atau setingkat
Eselon I;
c. Satker sementara;
d. Satker yang pimpinannya mempunyai tugas fungsional;
atau
e. Satker Lembaga Negara.
(7) Dalam hal Satker yang pimpinannya bukan Pegawai Negeri
Sipil, PA dapat menunjuk pejabat lain yang berstatus
Pegawai Negeri Sipil sebagai KPA.
(8) Dalam keadaan tertentu PA dapat menunjuk KPA yang
bukan Pegawai Negeri Sipil, dengan mempertimbangkan
efektivitas dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban
anggaran, pelaksanaan kegiatan, dan pencapaian
output/kinerja yang ditetapkan dalam DIPA.
(9) Penunjukkan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
- 9 -
Pasal 6
(1) Dalam hal terdapat keterbatasan jumlah pejabat/pegawai
yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Pejabat
Perbendaharaan Negara, dimungkinkan perangkapan fungsi
Pejabat Perbendaharaan Negara dengan memperhatikan
pelaksanaan prinsip saling uji (check and balance).
(2) Perangkapan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dilaksanakan melalui perangkapan jabatan KPA
sebagai PPK atau PPSPM.
Pasal 7
(1) KPA melaksanakan penggunaan anggaran berdasarkan DIPA
Satker.
(2) KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan pada
DIPA.
(3) Penunjukan KPA tidak terikat periode tahun anggaran.
(4) Dalam hal terdapat kekosongan jabatan kepala Satker
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) atau pejabat
lain yang ditunjuk sebagai KPA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (6), PA segera menunjuk seorang pejabat
baru sebagai pelaksana tugas KPA.
(5) Penunjukan KPA berakhir apabila tidak teralokasi anggaran
untuk program yang sama pada tahun anggaran berikutnya.
(6) KPA yang penunjukannya berakhir sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) bertanggungjawab untuk menyelesaikan
seluruh administrasi dan pelaporan keuangan.
Pasal 8
(1) Penunjukan KPA atas pelaksanaan dana Dekonsentrasi
dilakukan oleh Gubernur selaku pihak yang diberikan
pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Kementerian Negara/Lembaga.
(2) Penunjukan KPA atas pelaksanaan dana Urusan Bersama,
dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul
Gubernur/Bupati/Walikota.
(3) Penunjukan KPA atas pelaksanaan Tugas Pembantuan
dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul
Gubernur/Bupati/Walikota.
(4) Dalam rangka percepatan pelaksanaan anggaran,
Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan
penunjukan KPA atas pelaksanaan Urusan Bersama dan
Tugas Pembantuan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
- 10 -
Pasal 9
(1) Dalam pelaksanaan anggaran pada Satker, KPA memiliki
tugas dan wewenang:
a. menyusun DIPA;
b. menetapkan PPK untuk melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja Negara;
c. menetapkan PPSPM untuk melakukan pengujian tagihan
dan menerbitkan SPM atas beban anggaran belanja
Negara;
d. menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam
pelaksanaan kegiatan dan pengelola anggaran/keuangan;
e. menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana
penarikan dana;
f. memberikan supervisi dan konsultasi dalam pelaksanaan
kegiatan dan penarikan dana;
g. mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang
berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
dan
h. menyusun laporan keuangan dan kinerja atas
pelaksanaan anggaran sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Untuk 1 (satu) DIPA, KPA menetapkan:
a. 1 (satu) atau lebih PPK; dan
b. 1 (satu) PPSPM.
Pasal 10
(1) KPA bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan dan
anggaran yang berada dalam penguasaannya kepada PA.
(2) Pelaksanaan tanggung jawab KPA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. mengesahkan rencana pelaksanaan kegiatan dan
rencana penarikan dana;
b. merumuskan standar operasional agar pelaksanaan
pengadaan barang/jasa sesuai dengan ketentuan tentang
pengadaan barang/jasa pemerintah;
c. menyusun sistem pengawasan dan pengendalian agar
proses penyelesaian tagihan atas beban APBN
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan;
d. melakukan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan dan
pengadaan barang/jasa sesuai dengan keluaran (output)
yang ditetapkan dalam DIPA;
- 11 -
e. melakukan monitoring dan evaluasi agar pembuatan
perjanjian/kontrak pengadaan barang/jasa dan
pembayaran atas beban APBN sesuai dengan keluaran
(output) yang ditetapkan dalam DIPA serta rencana yang
telah ditetapkan;
f. merumuskan kebijakan agar pembayaran atas beban
APBN sesuai dengan keluaran (output) yang ditetapkan
dalam DIPA; dan
g. Melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi atas
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dalam
rangka penyusunan laporan keuangan.
Pasal 11
(1) KPA menetapkan PPK dan PPSPM dengan surat keputusan.
(2) Penetapan PPK dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak terikat periode tahun anggaran.
(3) Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditetapkan
sebagai PPK dan/atau PPSPM pada saat pergantian periode
tahun anggaran, penetapan PPK dan/atau PPSPM tahun
yang lalu masih tetap berlaku.
(4) Dalam hal PPK atau PPSPM dipindahtugaskan/pensiun/
diberhentikan dari jabatannya/berhalangan sementara, KPA
menetapkan PPK atau PPSPM pengganti dengan surat
keputusan dan berlaku sejak serah terima jabatan.
(5) Dalam hal penunjukan KPA berakhir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (5), penetapan PPK dan PPSPM secara
otomatis berakhir.
(6) PPK dan PPSPM yang penunjukannya berakhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) harus menyelesaikan seluruh
administrasi keuangan yang menjadi tanggung jawabnya
pada saat menjadi PPK atau PPSPM.
(7) KPA menyampaikan surat keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (4) kepada:
a. Kepala KPPN selaku Kuasa BUN beserta spesimen tanda
tangan PPSPM dan cap/stempel Satker;
b. PPSPM disertai dengan spesimen tanda tangan PPK; dan
c. PPK.
(8) Pada awal tahun anggaran, KPA menyampaikan
pemberitahuan kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) dalam hal tidak terdapat penggantian PPK dan/atau
PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
- 12 -
Bagian Ketiga
Pejabat Pembuat Komitmen
Pasal 12
(1) PPK melaksanakan kewenangan KPA untuk melakukan
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja
negara.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), PPK mempedomani pelaksanaan tanggung
jawab KPA kepada PA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
(3) PPK tidak dapat merangkap sebagai PPSPM.
Pasal 13
(1) Dalam melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja negara, PPK memiliki tugas
dan wewenang:
a. menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana
penarikan dana berdasarkan DIPA;
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
c. membuat, menandatangani dan melaksanakan
perjanjian/kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
d. melaksanakan kegiatan swakelola;
e. memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian/
kontrak yang dilakukannya;
f. mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak;
g. menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak
tagih kepada negara;
h. membuat dan menandatangani SPP;
i. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan kepada
KPA;
j. menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan
kepada KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
k. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen
pelaksanaan kegiatan; dan
l. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang
berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja negara sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana
penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dilakukan dengan:
- 13 -
a. menyusun jadwal waktu pelaksanaan kegiatan termasuk
rencana penarikan dananya;
b. menyusun perhitungan kebutuhan UP/TUP sebagai
dasar pembuatan SPP-UP/TUP; dan
c. mengusulkan revisi POK/DIPA kepada KPA.
(3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dilakukan dengan:
a. menguji kebenaran materiil dan keabsahan surat-surat
bukti mengenai hak tagih kepada negara; dan/atau
b. menguji kebenaran dan keabsahan dokumen/surat
keputusan yang menjadi persyaratan/kelengkapan
pembayaran belanja pegawai.
(4) Dalam hal surat-surat bukti mengenai hak tagih kepada
negara berupa surat jaminan uang muka, pengujian
kebenaran materiil dan keabsahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan:
a. menguji syarat-syarat kebenaran dan keabsahan jaminan
uang muka; dan
b. menguji tagihan uang muka berupa besaran uang muka
yang dapat dibayarkan sesuai ketentuan mengenai
pengadaan barang/jasa pemerintah.
(5) Laporan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf i berupa laporan atas:
a. pelaksanaan kegiatan;
b. penyelesaian kegiatan; dan
c. penyelesaian tagihan kepada negara.
(6) Tugas dan wewenang lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l meliputi:
a. menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan
barang/jasa;
b. memastikan telah terpenuhinya kewajiban pembayaran
kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih
kepada negara;
c. mengajukan permintaan pembayaran atas tagihan
berdasarkan prestasi kegiatan;
d. memastikan ketepatan jangka waktu penyelesaian
tagihan kepada negara; dan
e. menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan
kepada penyedia barang/jasa.
(7) Uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e
dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa untuk:
a. mobilisasi alat dan tenaga kerja;
b. pembayaran uang tanda jadi kepada pemasok
barang/material; dan/atau
- 14 -
c. persiapan teknis lain yang diperlukan bagi pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa.
Pasal 14
(1) Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf h, PPK menguji:
a. kelengkapan dokumen tagihan;
b. kebenaran perhitungan tagihan;
c. kebenaran data pihak yang berhak menerima
pembayaran atas beban APBN;
d. kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa
sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian/kontrak
dengan barang/jasa yang diserahkan oleh penyedia
barang/jasa;
e. kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa
sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah
terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/kontrak;
f. kebenaran, keabsahan serta akibat yang timbul dari
penggunaan surat bukti mengenai hak tagih kepada
negara; dan
g. ketepatan jangka waktu penyelesaian pekerjaan
sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah
terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/kontrak.
(2) PPK harus menyampaikan laporan bulanan terkait
pelaksanaan tugas dan wewenang kepada KPA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf i, yang paling
kurang memuat:
a. perjanjian/kontrak dengan penyedia barang/jasa yang
telah ditandatangani;
b. tagihan yang belum dan telah disampaikan penyedia
barang/jasa;
c. tagihan yang belum dan telah diterbitkan SPPnya; dan
d. jangka waktu penyelesaian tagihan.
Pasal 15
(1) Dalam melaksanakan kewenangan KPA di bidang belanja
pegawai, KPA mengangkat PPABP untuk membantu PPK
dalam mengelola administrasi belanja pegawai.
(2) PPABP bertanggung jawab atas pengelolaan administrasi
belanja pegawai kepada KPA.
(3) PPABP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas:
a. melakukan pencatatan data kepegawaian secara
elektronik dan/atau manual yang berhubungan dengan
belanja pegawai secara tertib, teratur, dan
berkesinambungan;
- 15 -
b. melakukan penatausahaan dokumen terkait keputusan
kepegawaian dan dokumen pendukung lainnya dalam
dosir setiap pegawai pada Satker yang bersangkutan
secara tertib dan teratur;
c. memproses pembuatan Daftar Gaji induk, Gaji Susulan,
Kekurangan Gaji, Uang Duka Wafat/Tewas, Terusan
Penghasilan/Gaji, Uang Muka Gaji, Uang Lembur, Uang
Makan, Honorarium, Vakasi, dan pembuatan Daftar
Permintaan Perhitungan Belanja Pegawai lainnya;
d. memproses pembuatan Surat Keterangan Penghentian
Pembayaran (SKPP);
e. memproses perubahan data yang tercantum pada Surat
Keterangan Untuk Mendapatkan Tunjangan Keluarga
setiap awal tahun anggaran atau setiap terjadi
perubahan susunan keluarga;
f. menyampaikan Daftar Permintaan Belanja Pegawai, ADK
Perubahan Data Pegawai, ADK Belanja Pegawai, Daftar
Perubahan Data Pegawai, dan dokumen pendukungnya
kepada PPK;
g. mencetak Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan
setiap awal tahun dan/atau apabila diperlukan; dan
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang berhubungan
dengan penggunaan anggaran belanja pegawai.
Bagian Keempat
Pejabat Penanda Tangan SPM
Pasal 16
PPSPM melaksanakan kewenangan KPA untuk melakukan
pengujian atas tagihan dan menerbitkan SPM.
Pasal 17
(1) Dalam melakukan pengujian tagihan dan menerbitkan SPM,
PPSPM memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung;
b. menolak dan mengembalikan SPP, apabila SPP tidak
memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
c. membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah
disediakan;
d. menerbitkan SPM;
e. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen
hak tagih;
f. melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah
pembayaran kepada KPA; dan
- 16 -
g. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang
berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah
pembayaran.
(2) Dalam menerbitkan SPM sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, PPSPM melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mencatat pagu, realisasi belanja, sisa pagu, dana
UP/TUP, dan sisa dana UP/TUP pada kartu pengawasan
DIPA;
b. menandatangani SPM; dan
c. memasukkan Personal Identification Number (PIN) PPSPM
sebagai tanda tangan elektronik pada ADK SPM.
(3) Pengujian terhadap SPP beserta dokumen pendukung yang
dilakukan oleh PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. kelengkapan dokumen pendukung SPP;
b. kesesuaian penanda tangan SPP dengan spesimen tanda
tangan PPK;
c. kebenaran pengisian format SPP;
d. kesesuaian kode BAS pada SPP dengan
DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran Satker;
e. ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan
DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran Satker;
f. kebenaran formal dokumen/surat keputusan yang
menjadi persyaratan/kelengkapan pembayaran belanja
pegawai;
g. kebenaran formal dokumen/surat bukti yang menjadi
persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan
pengadaan barang/jasa;
h. kebenaran pihak yang berhak menerima pembayaran
pada SPP sehubungan dengan perjanjian/kontrak/surat
keputusan;
i. kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban
di bidang perpajakan dari pihak yang mempunyai hak
tagih;
j. kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran
kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih
kepada negara; dan
k. kesesuaian prestasi pekerjaan dengan ketentuan
pembayaran dalam perjanjian/kontrak.
(4) Pengujian kode BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d termasuk menguji kesesuaian antara pembebanan
kode mata anggaran pengeluaran (akun 6 digit) dengan
uraiannya.
(5) Tata cara pelaksanaan tanda tangan elektronik dalam bentuk
PIN PPSPM pada ADK SPM diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaaan.
- 17 -
Pasal 18
(1) Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), PPSPM bertanggung jawab
atas:
a. kebenaran, kelengkapan, dan keabsahan administrasi
terhadap dokumen hak tagih pembayaran yang menjadi
dasar penerbitan SPM dan akibat yang timbul dari
pengujian yang dilakukannya; dan
b. ketepatan jangka waktu penerbitan dan penyampaian
SPM kepada KPPN.
(2) PPSPM harus menyampaikan laporan bulanan terkait
pelaksanaan tugas dan wewenang kepada KPA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f yang paling sedikit
memuat:
a. jumlah SPP yang diterima;
b. jumlah SPM yang diterbitkan; dan
c. jumlah SPP yang tidak dapat diterbitkan SPM.
Bagian Kelima
Kuasa Bendahara Umum Negara
Pasal 19
(1) Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kepala KPPN
selaku Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam
wilayah kerja yang telah ditetapkan.
(2) Tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau
menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggung
jawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam
pengelolaannya.
(3) KPPN dalam melaksanakan tugas kebendaharaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit:
a. melaksanakan penerimaan dan pengeluaran Kas Negara
dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran
negara; dan
b. melakukan pembayaran tagihan kepada penerima hak
sebagai pengeluaran anggaran.
Pasal 20
(1) KPPN selaku Kuasa BUN melaksanakan pencairan dana
berdasarkan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
PPSPM atas nama KPA.
- 18 -
(2) Dalam pelaksanaan pencairan dana, KPPN memiliki tugas
dan wewenang untuk menguji dan meneliti kelengkapan SPM
yang diterbitkan oleh PPSPM.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang KPPN selaku Kuasa BUN diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Bagian Keenam
Bendahara Pengeluaran
Pasal 22
(1) Untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran belanja, Menteri/Pimpinan Lembaga
mengangkat Bendahara Pengeluaran di setiap Satker.
(2) Kewenangan pengangkatan Bendahara Pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan
kepada kepala Satker.
(3) Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan pendelegasian kewenangan
pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan surat keputusan.
(4) Pengangkatan Bendahara Pengeluaran tidak terikat periode
tahun anggaran.
(5) Bendahara Pengeluaran tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK
atau PPSPM.
(6) Dalam hal tidak terdapat pergantian Bendahara Pengeluaran,
penetapan Bendahara Pengeluaran tahun anggaran yang lalu
masih tetap berlaku.
(7) Dalam hal Bendahara Pengeluaran dipindahtugaskan/
pensiun/diberhentikan dari jabatannya/berhalangan
sementara, Menteri/Pimpinan Lembaga atau kepala Satker
menetapkan pejabat pengganti sebagai Bendahara
Pengeluaran.
(8) Bendahara Pengeluaran yang dipindahtugaskan/
pensiun/diberhentikan dari jabatannya/berhalangan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus
menyelesaikan seluruh administrasi keuangan yang menjadi
tanggung jawabnya pada saat menjadi Bendahara
Pengeluaran.
- 19 -
(9) Kepala Satker menyampaikan surat keputusan
pengangkatan dan spesimen tanda tangan Bendahara
Pengeluaran kepada:
a. PPSPM; dan
b. PPK.
Pasal 23
(1) Dalam pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga
atau kepala Satker menetapkan 1 (satu) Bendahara
Pengeluaran untuk 1 (satu) DIPA/Satker.
(2) Dalam hal terdapat keterbatasan pegawai/pejabat yang akan
ditunjuk sebagai Bendahara Pengeluaran, Menteri/Pimpinan
Lembaga atau kepala Satker dapat menetapkan 1 (satu)
Bendahara Pengeluaran untuk mengelola lebih dari 1 (satu)
DIPA/Satker.
(3) Dalam hal pengelolaan DIPA/Satker tidak memerlukan
Bendahara Pengeluaran, tidak perlu ditetapkan Bendahara
Pengeluaran.
Pasal 24
(1) Bendahara Pengeluaran melaksanakan tugas kebendaharaan
atas uang/surat berharga yang berada dalam
pengelolaannya, yang meliputi:
a. Uang/surat berharga yang berasal dari UP dan
Pembayaran LS melalui Bendahara Pengeluaran; dan
b. Uang/surat berharga yang bukan berasal dari UP, dan
bukan berasal dari Pembayaran LS yang bersumber dari
APBN.
(2) Pelaksanaan tugas kebendaharaan Bendahara Pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. menerima, menyimpan, menatausahakan, dan
membukukan uang/surat berharga dalam
pengelolaannya;
b. melakukan pengujian dan pembayaran berdasarkan
perintah PPK;
c. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi
persyaratan untuk dibayarkan;
d. melakukan pemotongan/pemungutan penerimaan negara
dari pembayaran yang dilakukannya;
e. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban
kepada negara ke kas negara;
f. mengelola rekening tempat penyimpanan UP; dan
g. menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)
kepada Kepala KPPN selaku kuasa BUN.
- 20 -
(3) Kepala Satker menyampaikan surat keputusan
pengangkatan dan spesimen tanda tangan Bendahara
Pengeluaran kepada Kepala KPPN dalam rangka
penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g.
(4) Pembayaran dilaksanakan setelah dilakukan pengujian atas
perintah pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b yang meliputi:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang
diterbitkan oleh PPK;
b. pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
1. pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
2. nilai tagihan yang harus dibayar;
3. jadwal waktu pembayaran; dan
4. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
c. pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara
spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan
barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan
dalam dokumen perjanjian/kontrak; dan
d. pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan kode
mata anggaran pengeluaran (akun 6 digit).
Pasal 25
(1) Dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan
anggaran, kepala Satker dapat menunjuk beberapa BPP
sesuai kebutuhan.
(2) BPP harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Bendahara Pengeluaran.
(3) BPP melakukan pembayaran atas UP yang dikelola sesuai
pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4).
Pasal 26
(1) BPP melaksanakan tugas kebendaharaan atas uang yang
berada dalam pengelolaannya.
(2) Pelaksanaan tugas kebendaharaan atas uang yang dikelola
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. menerima dan menyimpan UP;
b. melakukan pengujian dan pembayaran atas tagihan yang
dananya bersumber dari UP;
c. melakukan pembayaran yang dananya bersumber dari
UP berdasarkan perintah PPK;
d. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi
persyaratan untuk dibayarkan;
- 21 -
e. melakukan pemotongan/pemungutan dari pembayaran
yang dilakukannya atas kewajiban kepada negara;
f. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban
kepada negara ke kas negara;
g. menatausahakan transaksi UP;
h. menyelenggarakan pembukuan transaksi UP; dan
i. mengelola rekening tempat penyimpanan UP.
Pasal 27
(1) Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi
atas uang/surat berharga yang berada dalam pengelolaannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
(2) BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1),
bertanggung jawab secara pribadi atas uang yang berada
dalam pengelolaannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1).
Pasal 28
(1) Dalam pelaksanaan pembayaran atas beban APBN, KPA
membuka rekening pengeluaran atas nama Bendahara
Pengeluaran/BPP dengan persetujuan Kuasa BUN.
(2) Kepala KPPN selaku Kuasa BUN memberikan persetujuan
pembukaan rekening Bendahara Pengeluaran/BPP kepada
KPA.
(3) Pembukaan rekening pengeluaran atas nama Bendahara
Pengeluaran/BPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai
pengelolaan rekening pemerintah pada kementerian
negara/lembaga/satuan kerja.
BAB V
PENYELESAIAN TAGIHAN NEGARA
Bagian Kesatu
Pembuatan Komitmen
Pasal 29
(1) Pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran pada DIPA
yang mengakibatkan pengeluaran negara, dilakukan melalui
pembuatan komitmen.
- 22 -
(2) Pembuatan komitmen sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan dalam bentuk:
a. Perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa;
dan/atau
b. Penetapan keputusan.
Pasal 30
(1) Setelah rencana kerja dan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
setiap Satker di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga
dapat memulai proses pelelangan dalam rangka pengadaan
barang/jasa pemerintah sebelum DIPA tahun anggaran
berikutnya disahkan dan berlaku efektif.
(2) Biaya proses pelelangan dalam rangka pengadaan
barang/jasa pemerintah sebelum DIPA tahun anggaran
berikutnya disahkan dan berlaku efektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk jenis belanja modal
dialokasikan dalam belanja modal tahun anggaran berjalan.
(3) Realisasi belanja atas alokasi anggaran biaya proses
pelelangan yang berasal dari belanja modal pada tahun
anggaran berjalan, dicatat dalam neraca sebagai Konstruksi
Dalam Pengerjaan (KDP).
(4) Biaya proses pelelangan dalam rangka pengadaan
barang/jasa pemerintah sebelum DIPA tahun anggaran
berikutnya disahkan dan berlaku efektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk jenis belanja barang/bantuan
sosial dialokasikan dalam belanja barang tahun anggaran
berjalan.
(5) Proses lelang pengadaan barang/jasa yang dibiayai melalui
dana tahun anggaran berjalan dilaksanakan oleh panitia
pengadaan yang dibentuk pada tahun anggaran berjalan.
(6) Penandatanganan perjanjian/kontrak atas pelaksanaan
pengadaan barang/jasa sebagai tindak lanjut atas
pelaksanaan lelang dilakukan setelah DIPA tahun anggaran
berikutnya disahkan dan berlaku efektif.
(7) Dalam hal biaya proses pelelangan dalam rangka pengadaan
barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (4) tidak dialokasikan pada tahun anggaran berjalan,
biaya proses pelelangan dimaksud dapat dialokasikan pada
DIPA tahun anggaran berjalan dengan melakukan revisi DIPA
sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai revisi DIPA.
- 23 -
Pasal 31
(1) Bentuk perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa
sampai dengan batas nilai tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dapat berupa bukti-bukti
pembelian/pembayaran.
(2) Ketentuan mengenai batas nilai tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan
barang/jasa pemerintah.
Pasal 32
(1) Perjanjian/kontrak pengadaan barang/jasa hanya dapat
dibebankan pada DIPA tahun anggaran berkenaan.
(2) Perjanjian/kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya
membebani DIPA lebih dari 1 (satu) tahun anggaran
dilakukan setelah mendapat persetujuan pejabat yang
berwenang.
(3) Persetujuan atas perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
tersendiri.
Pasal 33
(1) Perjanjian/kontrak atas pengadaan barang/jasa dapat
dibiayai sebagian atau seluruhnya dengan rupiah murni
dan/atau pinjaman dan/atau hibah.
(2) Perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan
mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pasal 34
(1) Pembuatan komitmen melalui penetapan keputusan yang
mengakibatkan pengeluaran negara antara lain untuk:
a. pelaksanaan belanja pegawai;
b. pelaksanaan perjalanan dinas yang dilaksanakan secara
swakelola;
c. pelaksanaan kegiatan swakelola, termasuk pembayaran
honorarium kegiatan; atau
d. belanja bantuan sosial yang disalurkan dalam bentuk
uang kepada penerima bantuan sosial.
(2) Penetapan keputusan dilakukan oleh pejabat yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
- 24 -
Bagian Kedua
Pencatatan Komitmen oleh PPK dan KPPN
Pasal 35
(1) Perjanjian/kontrak yang pembayarannya akan dilakukan
melalui SPM-LS, PPK mencatatkan perjanjian/kontrak yang
telah ditandatangani ke dalam suatu sistem yang disediakan
oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Pencatatan perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling kurang meliputi data sebagai berikut:
a. nama dan kode Satker serta uraian fungsi/subfungsi,
program, kegiatan, output, dan akun yang digunakan;
b. nomor Surat Pengesahan dan tanggal DIPA;
c. nomor, tanggal, dan nilai perjanjian/kontrak yang telah
dibuat oleh Satker;
d. uraian pekerjaan yang diperjanjikan;
e. data penyedia barang/jasa yang tercantum dalam
perjanjian/kontrak antara lain nama rekanan, alamat
rekanan, NPWP, nama bank, nama, dan nomor rekening
penerima pembayaran;
f. jangka waktu dan tanggal penyelesaian pekerjaan serta
masa pemeliharaan apabila dipersyaratkan;
g. ketentuan sanksi apabila terjadi wanprestasi;
h. addendum perjanjian/kontrak apabila terdapat
perubahan data pada perjanjian/kontrak tersebut; dan
i. cara pembayaran dan rencana pelaksanaan pembayaran:
1. sekaligus (nilai ............ rencana bulan ......); atau
2. secara bertahap (nilai ............ rencana bulan ......).
(3) Alokasi dana yang sudah tercatat dan terikat dengan
perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat digunakan lagi untuk kebutuhan lain.
Pasal 36
(1) Data perjanjian/kontrak yang memuat informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2), disampaikan
kepada KPPN paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah
ditandatanganinya perjanjian/kontrak untuk dicatatkan
ke dalam Kartu Pengawasan Kontrak KPPN.
- 25 -
(2) Data perjanjian/kontrak dalam Kartu Pengawasan Kontrak
KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan
untuk menguji kesesuaian tagihan yang tercantum pada
SPM meliputi:
a. pihak yang berhak menerima pembayaran;
b. nilai pembayaran; dan
c. jadwal pembayaran.
(3) Data perjanjian/kontrak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beserta ADK-nya disampaikan ke KPPN secara
langsung atau melalui e-mail.
(4) Kartu Pengawasan Kontrak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 37
(1) Dalam hal terdapat perubahan data pegawai pada penetapan
keputusan yang mengakibatkan pengeluaran negara untuk
pelaksanaan belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf a, PPABP mencatat perubahan data
pegawai tersebut ke dalam suatu sistem yang disediakan
oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi dokumen yang terkait dengan:
a. Pengangkatan/pemberhentian sebagai calon pegawai
negeri;
b. Pengangkatan/pemberhentian sebagai pegawai negeri;
c. Kenaikan/penurunan pangkat;
d. Kenaikan/penurunan gaji berkala;
e. Pengangkatan/pemberhentian dalam jabatan;
f. Mutasi Pindah ke Satker lain;
g. Pegawai baru karena mutasi pindah;
h. Perubahan data keluarga;
i. Data utang kepada negara; dan/atau
j. Pengenaan sanksi kepegawaian.
Pasal 38
(1) Daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2), disampaikan kepada KPPN paling
lambat bersamaan dengan pengajuan SPM Belanja Pegawai
ke KPPN.
- 26 -
(2) Dalam hal disampaikan bersamaan dengan SPM Belanja
Pegawai, daftar perubahan data pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) bukan merupakan
lampiran dari SPM Belanja Pegawai.
(3) Penyampaian daftar perubahan data pegawai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah terlebih
dahulu disahkan oleh PPSPM dengan menyertakan ADK.
(4) Daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan dalam rangka pemutakhiran (updating)
data antara KPPN dengan Satker untuk pembayaran belanja
pegawai dan untuk menguji kesesuaian dengan tagihan.
(5) Daftar perubahan data pegawai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Bagian Ketiga
Mekanisme Penyelesaian Tagihan dan Penerbitan SPP
Paragraf Kesatu
Pengajuan Tagihan
Pasal 39
(1) Penerima hak mengajukan tagihan kepada negara atas
komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
berdasarkan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh
pembayaran.
(2) Atas dasar tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
PPK melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1).
(3) Pelaksanaan pembayaran tagihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan dengan Pembayaran LS kepada
penyedia barang/jasa atau Bendahara Pengeluaran/pihak
lainnya.
(4) Dalam hal Pembayaran LS tidak dapat dilakukan,
pembayaran tagihan kepada penerima hak dilakukan
dengan UP.
(5) Khusus untuk pembayaran komitmen dalam rangka
pengadaan barang/jasa berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Pembayaran tidak boleh dilakukan sebelum barang/jasa
diterima;
- 27 -
b. Dalam hal pengadaan barang/jasa yang karena sifatnya
harus dilakukan pembayaran terlebih dahulu,
pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan sebelum
barang/jasa diterima; dan
c. Pembayaran atas beban APBN sebagaimana dimaksud
pada huruf b dilakukan setelah penyedia barang/jasa
menyampaikan jaminan atas uang pembayaran yang
akan dilakukan.
Pasal 40
(1) Pembayaran LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (3) ditujukan kepada:
a. Penyedia barang/jasa atas dasar perjanjian/kontrak;
b. Bendahara Pengeluaran/pihak lainnya untuk keperluan
belanja pegawai non gaji induk, pembayaran honorarium,
dan perjalanan dinas atas dasar surat keputusan.
(2) Pembayaran tagihan kepada penyedia barang/jasa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan
berdasarkan bukti-bukti yang sah yang meliputi:
a. Bukti perjanjian/kontrak;
b. Referensi Bank yang menunjukkan nama dan nomor
rekening penyedia barang/jasa;
c. Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan;
d. Berita Acara Serah Terima Pekerjaan/Barang;
e. Bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan;
f. Berita Acara Pembayaran;
g. Kuitansi yang telah ditandatangani oleh penyedia
barang/jasa dan PPK, yang dibuat sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini;
h. Faktur pajak beserta Surat Setoran Pajak (SSP) yang
telah ditandatangani oleh Wajib Pajak/Bendahara
Pengeluaran;
i. Jaminan yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga
keuangan lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan
barang/jasa pemerintah; dan/atau
j. Dokumen lain yang dipersyaratkan khususnya untuk
perjanjian/kontrak yang dananya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari pinjaman atau hibah
dalam/luar negeri sebagaimana dipersyaratkan dalam
naskah perjanjian pinjaman atau hibah dalam/luar
negeri bersangkutan.
- 28 -
(3) Pembayaran tagihan kepada Bendahara Pengeluaran/pihak
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan berdasarkan bukti-bukti yang sah, meliputi:
a. Surat Keputusan;
b. Surat Tugas/Surat Perjalanan Dinas;
c. Daftar penerima pembayaran; dan/atau
d. Dokumen pendukung lainnya sesuai ketentuan.
(4) Dalam hal jaminan yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga
keuangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf i berupa surat jaminan uang muka, jaminan dimaksud
dilengkapi dengan Surat Kuasa bermaterai cukup dari PPK
kepada Kepala KPPN untuk mencairkan jaminan.
Pasal 41
(1) Tagihan atas pengadaan barang/jasa dan/atau pelaksanaan
kegiatan yang membebani APBN diajukan dengan surat
tagihan oleh penerima hak kepada PPK paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada negara.
(2) Dalam hal 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih
kepada negara penerima hak belum mengajukan surat
tagihan, PPK harus segera memberitahukan secara tertulis
kepada penerima hak untuk mengajukan tagihan.
(3) Dalam hal setelah 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) penerima hak belum mengajukan tagihan,
penerima hak pada saat mengajukan tagihan harus
memberikan penjelasan secara tertulis kepada PPK atas
keterlambatan pengajuan tagihan tersebut.
(4) Dalam hal PPK menolak/mengembalikan tagihan karena
dokumen pendukung tagihan tidak lengkap dan benar, PPK
harus menyatakan secara tertulis alasan
penolakan/pengembalian tersebut paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah diterimanya surat tagihan.
Paragraf Kedua
Mekanisme Penerbitan SPP-LS
Pasal 42
(1) Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 ayat (2) telah memenuhi persyaratan, PPK
mengesahkan dokumen tagihan dan menerbitkan SPP yang
dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
- 29 -
(2) Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran belanja pegawai diatur
sebagai berikut:
a. Untuk pembayaran Gaji Induk dilengkapi dengan:
1. Daftar Gaji, Rekapitulasi Daftar Gaji, dan Halaman
Luar Daftar Gaji yang ditandatangani oleh PPABP,
Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;
2. Daftar Perubahan data pegawai yang ditandatangani
PPABP;
3. Daftar Perubahan Potongan;
4. Daftar Penerimaan Gaji Bersih pegawai untuk
pembayaran gaji yang dilaksanakan secara langsung
pada rekening masing-masing pegawai;
5. Copy dokumen pendukung perubahan data pegawai
yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat
yang berwenang meliputi Surat Keputusan (SK)
terkait dengan pengangkatan Calon Pegawai Negeri,
SK Pegawai Negeri, SK Kenaikan Pangkat, Surat
Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala, SK Mutasi
Pegawai, SK Menduduki Jabatan, Surat Pernyataan
Melaksanakan Tugas, Surat atau Akta terkait
dengan anggota keluarga yang mendapat tunjangan,
Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP),
dan surat keputusan yang mengakibatkan
penurunan gaji, serta SK Pemberian Uang Tunggu
sesuai peruntukannya;
6. ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
7. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai; dan
8. Surat Setoran Pajak Penghasilan (SSP PPh)
Pasal 21.
b. Untuk Pembayaran Gaji Susulan:
1. Gaji Susulan yang dibayarkan sebelum gaji pegawai
yang bersangkutan masuk dalam Gaji induk,
dilengkapi dengan:
a) Daftar Gaji Susulan, Rekapitulasi Daftar Gaji
Susulan, dan halaman luar Daftar Gaji Susulan
yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara
Pengeluaran, dan KPA/PPK;
b) Daftar perubahan data pegawai yang
ditandatangani oleh PPABP;
\
- 30 -
c) Copy dokumen pendukung perubahan data
pegawai yang telah dilegalisasi oleh Kepala
Satker/pejabat yang berwenang meliputi SK
terkait dengan pengangkatan sebagai Calon
Pegawai Negeri/Pegawai Negeri, SK Mutasi
Pegawai, SK terkait Jabatan, Surat Pernyataan
Pelantikan, Surat Pernyataan Melaksanakan
Tugas, Surat Keterangan Untuk Mendapatkan
Tunjangan Keluarga, Surat atau Akta terkait
dengan anggota keluarga yang mendapat
tunjangan, dan SKPP sesuai peruntukannya;
d) ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
e) ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai; dan
f) SSP PPh Pasal 21.
2. Gaji Susulan yang dibayarkan setelah gaji pegawai
yang bersangkutan masuk dalam Gaji induk,
dilengkapi dengan:
a) Daftar Gaji Susulan, Rekapitulasi Daftar Gaji
Susulan, dan halaman luar Daftar Gaji Susulan
yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara
Pengeluaran, dan KPA/PPK;
b) Daftar perubahan data pegawai yang
ditandatangani oleh PPABP;
c) ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
d) ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai; dan
e) SSP PPh Pasal 21.
c. Untuk pembayaran Kekurangan Gaji dilengkapi dengan:
1. Daftar Kekurangan Gaji, Rekapitulasi Daftar
Kekurangan Gaji, dan halaman luar Daftar
Kekurangan Gaji yang ditandatangani oleh PPABP,
Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;
2. Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani
oleh PPABP;
3. Copy dokumen pendukung perubahan data pegawai
yang telah dilegalisasi oleh Kepala Satker/pejabat
yang berwenang meliputi SK terkait dengan
pengangkatan sebagai Calon Pegawai
Negeri/Pegawai Negeri, SK Kenaikan Pangkat, Surat
Keputusan/Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala,
SK Mutasi Pegawai, SK terkait dengan jabatan, Surat
Pernyataan Melaksanakan Tugas;
4. ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
- 31 -
5. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai; dan
6. SSP PPh Pasal 21.
d. Untuk pembayaran Uang Duka Wafat/Tewas, dilengkapi
dengan:
1. Daftar Perhitungan Uang Duka Wafat/Tewas,
Rekapitulasi Daftar Uang Duka Wafat/Tewas, dan
halaman luar Daftar Uang Duka Wafat/Tewas yang
ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran,
dan KPA/PPK;
2. Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani
oleh PPABP;
3. SK Pemberian Uang Duka Wafat/Tewas dari pejabat
yang berwenang;
4. Surat Keterangan dan Permintaan Tunjangan
Kematian/Uang Duka Wafat/Tewas;
5. Surat Keterangan Kematian/Visum dari Camat atau
Rumah Sakit;
6. ADK terkait dengan perubahan data pegawai; dan
7. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai.
e. Untuk pembayaran Terusan Penghasilan Gaji dilengkapi
dengan:
1. Daftar Perhitungan Terusan Penghasilan Gaji,
Rekapitulasi Daftar Terusan Penghasilan Gaji, dan
halaman luar Daftar Terusan Penghasilan Gaji yang
ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran,
dan KPA/PPK;
2. Daftar perubahan data pegawai yang ditandatangani
oleh PPABP;
3. Copy dokumen pendukung yang telah dilegalisasi
oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang berupa
Surat Keterangan Kematian dari Camat atau Visum
Rumah Sakit untuk pembayaran pertama kali;
4. ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
5. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai; dan
6. SSP PPh Pasal 21.
f. Untuk pembayaran Uang Muka Gaji dilengkapi dengan:
1. Daftar Perhitungan Uang Muka Gaji, Rekapitulasi
Daftar Uang Muka Gaji, dan halaman luar Daftar
Uang Muka Gaji yang ditandatangani oleh PPABP,
Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;
- 32 -
2. Copy dokumen pendukung yang telah dilegalisasi
oleh Kepala Satker/pejabat yang berwenang berupa
SK Mutasi Pindah, Surat Permintaan Uang Muka
Gaji, dan Surat Keterangan Untuk Mendapatkan
Tunjangan Keluarga;
3. ADK terkait dengan perubahan data pegawai; dan
4. ADK perhitungan pembayaran Belanja Pegawai
sesuai perubahan data pegawai.
g. Untuk pembayaran Uang Lembur dilengkapi dengan:
1. Daftar Pembayaran Perhitungan Lembur dan
Rekapitulasi Daftar Perhitungan Lembur yang
ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran,
dan KPA/PPK;
2. Surat Perintah Kerja Lembur;
3. Daftar Hadir Kerja selama 1 (satu) bulan;
4. Daftar Hadir Lembur; dan
5. SSP PPh Pasal 21.
h. Untuk pembayaran Uang Makan dilengkapi dengan:
1. Daftar Perhitungan Uang Makan yang
ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran,
dan KPA/PPK; dan
2. SSP PPh Pasal 21.
i. Untuk pembayaran Honorarium Tetap/Vakasi dilengkapi
dengan:
1. Daftar Perhitungan Honorarium/Vakasi yang
ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran,
dan KPA/PPK;
2. SK dari Pejabat yang berwenang; dan
3. SSP PPh Pasal 21.
(3) Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran:
a. honorarium dilengkapi dengan dokumen pendukung,
meliputi:
1. Surat Keputusan yang terdapat pernyataan bahwa
biaya yang timbul akibat penerbitan surat
keputusan dimaksud dibebankan pada DIPA;
2. Daftar nominatif penerima honorarium yang memuat
paling sedikit nama orang, besaran honorarium, dan
nomor rekening masing-masing penerima
honorarium yang ditandatangani oleh KPA/PPK dan
Bendahara Pengeluaran;
3. SSP PPh Pasal 21 yang ditandatangani oleh
Bendahara Pengeluaran; dan
- 33 -
4. Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada
angka (1) dilampirkan pada awal pembayaran dan
pada saat terjadi perubahan surat keputusan.
b. langganan daya dan jasa dilengkapi dengan dokumen
pendukung berupa surat tagihan penggunaan daya
dan jasa yang sah.
c. perjalanan dinas diatur sebagai berikut:
1. perjalanan dinas jabatan yang sudah dilaksanakan,
dilampiri:
a) Daftar nominatif perjalanan dinas; dan
b) Dokumen pertanggungjawaban biaya perjalanan
dinas jabatan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan mengenai
perjalanan dinas dalam negeri bagi pejabat
negara, pegawai negeri, dan pegawai tidak tetap.
2. perjalanan dinas jabatan yang belum dilaksanakan,
dilampiri daftar nominatif perjalanan dinas.
3. Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dan angka 2 ditandatangani oleh PPK yang
memuat paling kurang informasi mengenai pihak
yang melaksanakan perjalanan dinas (nama,
pangkat/golongan), tujuan, tanggal keberangkatan,
lama perjalanan dinas, dan biaya yang diperlukan
untuk masing-masing pejabat.
4. perjalanan dinas pindah, dilampiri dengan Dokumen
pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas pindah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai perjalanan dinas dalam negeri
bagi pejabat negara, pegawai negeri, dan pegawai
tidak tetap.
d. pembayaran pengadaan tanah, dilampiri:
1. Daftar nominatif penerima pembayaran uang ganti
kerugian yang memuat paling sedikit nama masingmasing
penerima, besaran uang dan nomor rekening
masing-masing penerima;
2. foto copy bukti kepemilikan tanah;
3. bukti pembayaran/kuitansi;
4. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi
dan Bangunan (SPPT PBB) tahun transaksi;
5. Pernyataan dari penjual bahwa tanah tersebut tidak
dalam sengketa dan tidak sedang dalam agunan;
- 34 -
6. Pernyataan dari Pengadilan Negeri yang wilayah
hukumnya meliputi lokasi tanah yang disengketakan
bahwa Pengadilan Negeri tersebut dapat menerima
uang penitipan ganti kerugian, dalam hal tanah
sengketa;
7. Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan atau
pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa
rekening Pengadilan Negeri yang menampung uang
titipan tersebut merupakan Rekening Pemerintah
Lainnya, dalam hal tanah sengketa;
8. Berita acara pelepasan hak atas tanah atau
penyerahan tanah;
9. SSP PPh final atas pelepasan hak;
10. Surat pelepasan hak adat (bila diperlukan); dan
11. Dokumen-dokumen lainnya sebagaimana
dipersyaratkan dalam peraturan perundangundangan
mengenai pengadaan tanah.
(4) SPP-LS untuk pembayaran belanja pegawai diterbitkan oleh
PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat 4 (empat)
hari kerja setelah dokumen pendukung diterima secara
lengkap dan benar.
(5) SPP-LS untuk pembayaran gaji induk/bulanan diterbitkan
oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat
tanggal 5 sebelum bulan pembayaran.
(6) Dalam hal tanggal 5 sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur,
penyampaian SPP-LS kepada PPSPM dilakukan paling
lambat pada hari kerja sebelum tanggal 5.
(7) SPP-LS untuk pembayaran non belanja pegawai diterbitkan
oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah dokumen pendukung diterima
secara lengkap dan benar dari penerima hak.
(8) Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran pengadaan
barang/jasa atas beban belanja barang, belanja modal,
belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain dilengkapi
dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2).
(9) Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran belanja bantuan sosial
kepada penerima bantuan sosial diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan tersendiri.
(10) Penerbitan SPP-LS untuk pembayaran belanja pembayaran
kewajiban utang, belanja subsidi, belanja hibah, masingmasing
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
- 35 -
Paragraf Ketiga
Mekanisme Pembayaran dengan Uang Persediaan
dan Tambahan Uang Persediaan
Pasal 43
(1) UP digunakan untuk keperluan membiayai kegiatan
operasional sehari-hari Satker dan membiayai pengeluaran
yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme
Pembayaran LS.
(2) UP merupakan uang muka kerja dari Kuasa BUN kepada
Bendahara Pengeluaran yang dapat dimintakan
penggantiannya (revolving).
(3) Pembayaran dengan UP yang dapat dilakukan oleh
Bendahara Pengeluaran/BPP kepada 1 (satu) penerima/
penyedia barang/jasa paling banyak sebesar Rp.50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) kecuali untuk pembayaran
honorarium dan perjalanan dinas.
(4) Pada setiap akhir hari kerja, uang tunai yang berasal dari
UP yang ada pada Kas Bendahara Pengeluaran/BPP paling
banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(5) UP dapat diberikan untuk pengeluaran-pengeluaran:
a. Belanja Barang;
b. Belanja Modal; dan
c. Belanja Lain-lain.
(6) Pembayaran dengan UP oleh Bendahara Pengeluaran/BPP
kepada 1 (satu) penerima/penyedia barang/jasa dapat
melebihi Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
(7) Bendahara Pengeluaran melakukan penggantian (revolving)
UP yang telah digunakan sepanjang dana yang dapat
dibayarkan dengan UP masih tersedia dalam DIPA.
(8) Penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dilakukan apabila UP telah dipergunakan paling sedikit
50% (lima puluh persen).
(9) Untuk Bendahara Pengeluaran yang dibantu oleh beberapa
BPP, dalam pengajuan UP ke KPPN harus melampirkan
daftar rincian yang menyatakan jumlah uang yang dikelola
oleh masing-masing BPP.
(10) Setiap BPP mengajukan penggantian UP melalui Bendahara
Pengeluaran, apabila UP yang dikelolanya telah
dipergunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen).
- 36 -
Pasal 44
(1) Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada
KPA, dalam hal 2 (dua) bulan sejak SP2D-UP diterbitkan
belum dilakukan pengajuan penggantian UP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (8).
(2) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal setelah 1 (satu) bulan sejak disampaikan surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), belum
dilakukan pengajuan penggantian UP, Kepala KPPN
memotong UP sebesar 25% (dua puluh lima persen).
(4) Pemotongan dana UP sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan cara Kepala KPPN menyampaikan surat
pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan
potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas
Negara.
(5) Dalam hal setelah dilakukan pemotongan dan/atau
penyetoran UP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala
KPPN melakukan pengawasan UP.
(6) Dalam melakukan pengawasan UP sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), ketentuan penyampaian surat pemberitahuan,
dan pemotongan UP berikutnya mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4).
Pasal 45
(1) Dalam hal 1 (satu) bulan setelah surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) KPA tidak
memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau
menyetorkan ke kas negara, Kepala KPPN memotong
UP sebesar 50% (lima puluh persen) dengan cara
menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk
memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau
menyetorkan ke kas negara.
(2) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan dalam Pasal 44 ayat (4) dibuat sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal setelah surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), KPA melakukan penyetoran
UP dan/atau memperhitungkan potongan UP dalam
pengajuan SPM-GUP, diberlakukan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5).
- 37 -
Pasal 46
(1) KPA mengajukan UP kepada KPPN sebesar kebutuhan
operasional Satker dalam 1 (satu) bulan yang direncanakan
dibayarkan melalui UP.
(2) Pemberian UP diberikan paling banyak:
a. Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) untuk pagu
jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui UP sampai
dengan Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah);
b. Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu jenis
belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas
Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) sampai
dengan Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta
rupiah);
c. Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu jenis
belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas
Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah);
atau
d. Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pagu jenis
belanja yang bisa dibayarkan melalui UP di atas
Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah).
(3) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan
atas permintaan KPA, dapat memberikan persetujuan UP
melampaui besaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dengan mempertimbangkan:
a. frekuensi penggantian UP tahun yang lalu lebih dari ratarata
1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan selama 1 (satu)
tahun; dan
b. perhitungan kebutuhan penggunaan UP dalam 1 (satu)
bulan melampaui besaran UP.
Pasal 47
(1) KPA dapat mengajukan TUP kepada Kepala KPPN dalam hal
sisa UP pada Bendahara Pengeluaran tidak cukup tersedia
untuk membiayai kegiatan yang sifatnya mendesak/tidak
dapat ditunda.
(2) Syarat penggunaan TUP:
a. digunakan dan dipertanggungjawabkan paling lama
1 (satu) bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan; dan
b. tidak digunakan untuk kegiatan yang harus
dilaksanakan dengan pembayaran LS.
Pasal 48
(1) KPA mengajukan permintaan TUP kepada Kepala KPPN
selaku Kuasa BUN disertai:
- 38 -
a. rincian rencana penggunaan TUP; dan
b. surat yang memuat syarat penggunaan TUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dibuat sesuai format
yang tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Atas dasar permintaan TUP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kepala KPPN melakukan penilaian terhadap:
a. pengeluaran pada rincian rencana penggunaan TUP
bukan merupakan pengeluaran yang harus dilakukan
dengan pembayaran LS;
b. pengeluaran pada rincian rencana penggunaan TUP
masih/cukup tersedia dananya dalam DIPA;
c. TUP sebelumnya sudah dipertanggungjawabkan
seluruhnya; dan
d. TUP sebelumnya yang tidak digunakan telah disetor ke
Kas Negara.
(3) Dalam hal TUP sebelumnya belum dipertanggungjawabkan
seluruhnya dan/atau belum disetor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dan huruf d, KPPN dapat menyetujui
permintaan TUP berikutnya setelah mendapat persetujuan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(4) Dalam hal KPA mengajukan permintaan TUP untuk
kebutuhan melebihi waktu 1 (satu) bulan, Kepala KPPN
dapat memberi persetujuan dengan pertimbangan kegiatan
yang akan dilaksanakan memerlukan waktu melebihi
1 (satu) bulan.
(5) Untuk pengajuan permintaan TUP yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala
KPPN dapat memberikan persetujuan sebagian atau seluruh
permintaan TUP melalui surat persetujuan pemberian TUP.
(6) Kepala KPPN menolak permintaan TUP dalam hal pengajuan
permintaan TUP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(7) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dan ayat (6) disampaikan paling lambat 1 (satu) hari
kerja setelah surat pengajuan permintaan TUP diterima
KPPN.
(8) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Pasal 49
(1) TUP harus dipertanggungjawabkan dalam waktu 1 (satu)
bulan dan dapat dilakukan secara bertahap.
- 39 -
(2) Dalam hal selama 1 (satu) bulan sejak SP2D TUP diterbitkan
belum dilakukan pengesahan dan pertanggungjawaban TUP,
Kepala KPPN menyampaikan surat teguran kepada KPA yang
dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(3) Sisa TUP yang tidak habis digunakan harus disetor ke Kas
Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Untuk perpanjangan pertanggungjawaban TUP
melampaui 1 (satu) bulan, KPA mengajukan permohonan
persetujuan kepada Kepala KPPN.
(5) Kepala KPPN memberikan persetujuan perpanjangan
pertanggungjawaban TUP sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dengan pertimbangan:
a. KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah
dipergunakan; dan
b. KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk
mempertanggungjawabkan sisa TUP tidak lebih dari 1
(satu) bulan berikutnya yang dibuat sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Paragraf Keempat
Mekanisme Penerbitan SPP-UP/GUP/GUP NIHIL
Pasal 50
(1) Berdasarkan rencana kegiatan yang telah disusun,
Bendahara Pengeluaran menyampaikan kebutuhan UP
kepada PPK.
(2) Atas dasar kebutuhan UP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), PPK menerbitkan SPP-UP untuk pengisian UP yang
dilengkapi dengan perhitungan besaran UP sesuai pengajuan
dari Bendahara Pengeluaran.
(3) SPP-UP diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada
PPSPM paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya
permintaan UP dari Bendahara Pengeluaran.
Pasal 51
(1) Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas
UP berdasarkan surat perintah bayar (SPBy) yang disetujui
dan ditandatangani oleh PPK atas nama KPA.
(2) SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan
bukti pengeluaran:
- 40 -
a. kuitansi/bukti pembelian yang telah disahkan PPK
beserta faktur pajak dan SSP; dan
b. nota/bukti penerimaan barang/jasa atau dokumen
pendukung lainnya yang diperlukan yang telah disahkan
PPK.
(3) Dalam hal penyedia barang/jasa tidak mempunyai
kuitansi/bukti pembelian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, Bendahara Pengeluaran/BPP membuat
kuitansi yang dibuat sesuai format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Berdasarkan SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan:
a. pengujian atas SPBy yang meliputi pengujian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4); dan
b. pemungutan/pemotongan pajak/bukan pajak atas
tagihan dalam SPBy yang diajukan dan menyetorkan ke
kas negara.
(5) Dalam hal pembayaran yang dilakukan Bendahara
Pengeluaran merupakan uang muka kerja, SPBy
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:
a. rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran;
b. rincian kebutuhan dana; dan
c. batas waktu pertanggungjawaban penggunaan uang
muka kerja,
dari penerima uang muka kerja.
(6) Atas dasar rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran
dan rincian kebutuhan dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf a dan huruf b, Bendahara Pengeluaran/BPP
melakukan pengujian ketersediaan dananya.
(7) Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas
tagihan dalam SPBy apabila telah memenuhi persyaratan
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
(8) Dalam hal pengujian perintah bayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a tidak memenuhi persyaratan untuk
dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/BPP harus menolak
SPBy yang diajukan.
(9) Penerima uang muka kerja harus mempertanggungjawabkan
uang muka kerja sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf c, berupa bukti pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(10) Atas dasar pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud
pada ayat (9), Bendahara Pengeluaran/BPP melakukan
pengujian bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
- 41 -
(11) Dalam hal sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) huruf c, penerima uang muka kerja belum
menyampaikan bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bendahara Pengeluaran/BPP menyampaikan
permintaan tertulis agar penerima uang muka kerja segera
mempertanggungjawabkan uang muka kerja.
(12) Tembusan permintaan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (11) disampaikan kepada PPK.
(13) BPP menyampaikan SPBy beserta bukti pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bendahara
Pengeluaran.
(14) Bendahara Pengeluaran selanjutnya menyampaikan bukti
pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
PPK untuk pembuatan SPP GUP/GUP Nihil.
(15) SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 52
(1) PPK menerbitkan SPP-GUP untuk pengisian kembali UP.
(2) Penerbitan SPP-GUP dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. Daftar Rincian Permintaan Pembayaran;
b. Bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2); dan
c. SSP yang telah dikonfirmasi KPPN.
(3) Perjanjian/Kontrak beserta faktur pajaknya dilampirkan
untuk nilai transaksi yang harus menggunakan
perjanjian/Kontrak sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa
pemerintah.
(4) SPP-GUP disampaikan kepada PPSPM paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah bukti-bukti pendukung diterima
secara lengkap dan benar.
Pasal 53
(1) Sisa dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran
dengan UP minimal sama dengan nilai UP yang dikelola oleh
Bendahara Pengeluaran.
(2) Dalam hal pengisian kembali UP akan mengakibatkan sisa
dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran dengan
UP lebih kecil dari UP yang dikelola Bendahara Pengeluaran:
- 42 -
a. pengisian kembali UP dilaksanakan maksimal sebesar
sisa dana dalam DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP;
dan
b. selisih antara sisa dana dalam DIPA yang dapat
dilakukan pembayaran dengan UP dan UP yang dikelola
Bendahara Pengeluaran dibukukan/diperhitungkan
sebagai potongan Penerimaan Pengembalian UP.
Pasal 54
(1) Penerbitan SPP-GUP Nihil dilakukan dalam hal:
a. sisa dana pada DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP
minimal sama dengan besaran UP yang diberikan;
b. sebagai pertanggungjawaban UP yang dilakukan pada
akhir tahun anggaran; atau
c. UP tidak diperlukan lagi.
(2) Penerbitan SPP-GUP Nihil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan pengesahan/pertanggungjawaban UP.
(3) SPP-GUP Nihil dilengkapi dengan dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
(4) SPP-GUP Nihil disampaikan kepada PPSPM paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah bukti-bukti pendukung diterima
secara lengkap dan benar.
Paragraf Kelima
Mekanisme Penerbitan SPP-TUP/PTUP
Pasal 55
(1) PPK menerbitkan SPP-TUP dan dilengkapi dengan dokumen
meliputi:
a. rincian penggunaan dana yang ditandatangani oleh
KPA/PPK dan Bendahara Pengeluaran;
b. Surat pernyataan dari KPA/PPK yang menjelaskan
hal-hal sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 47
ayat (2); dan
c. Surat permohonan TUP yang telah memperoleh
persetujuan TUP dari Kepala KPPN.
(2) SPP-TUP diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada
PPSPM paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya
persetujuan TUP dari Kepala KPPN.
(3) Untuk mengesahkan/mempertanggungjawabkan TUP, PPK
menerbitkan SPP-PTUP.
- 43 -
(4) SPP-PTUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan
kepada PPSPM paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum
batas akhir pertanggungjawaban TUP.
(5) Penerbitan SPP-PTUP dilengkapi dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
Bagian Keempat
Mekanisme Pengujian SPP dan Penerbitan SPM
Pasal 56
(1) PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta
dokumen pendukung yang disampaikan oleh PPK.
(2) Pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen
pendukung SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (3); dan
b. Keabsahan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen
pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan/ menandatangani
SPM.
(4) Jangka waktu pengujian SPP sampai dengan penerbitan
SPM-UP/TUP/GUP/PTUP/LS oleh PPSPM diatur sebagai
berikut:
a. untuk SPP-UP/TUP diselesaikan paling lambat 2 (dua)
hari kerja;
b. untuk SPP-GUP diselesaikan paling lambat 4 (empat) hari
kerja;
c. untuk SPP-PTUP diselesaikan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja; dan
d. untuk SPP-LS diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari
kerja.
(5) Dalam hal PPSPM menolak/mengembalikan SPP karena
dokumen pendukung tagihan tidak lengkap dan benar, maka
PPSPM harus menyatakan secara tertulis alasan
penolakan/pengembalian tersebut paling lambat 2 (dua) hari
kerja setelah diterimanya SPP.
Pasal 57
(1) Seluruh bukti pengeluaran sebagai dasar pengujian dan
penerbitan SPM disimpan oleh PPSPM.
- 44 -
(2) Bukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi bahan pemeriksaan bagi aparat pemeriksa internal
dan eksternal.
Pasal 58
(1) Penerbitan SPM oleh PPSPM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (3) dilakukan melalui sistem aplikasi yang
disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) SPM yang diterbitkan melalui sistem aplikasi SPM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat Personal
Identification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda tangan
elektronik pada ADK SPM dari penerbit SPM yang sah.
(3) SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(4) Dalam penerbitan SPM melalui sistem aplikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), PPSPM bertanggung jawab atas:
a. keamanan data pada aplikasi SPM;
b. kebenaran SPM dan kesesuaian antara data pada SPM
dengan data pada ADK SPM; dan
c. penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada
ADK SPM.
Pasal 59
(1) PPSPM menyampaikan SPM-UP/TUP/GUP/GUP Nihil/
PTUP/LS dalam rangkap 2 (dua) beserta ADK SPM kepada
KPPN.
(2) Penyampaian SPM-UP/SPM-TUP/SPM-LS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Penyampaian SPM-UP dilampiri dengan surat pernyataan
dari KPA yang dibuat sesuai format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
b. Penyampaian SPM-TUP dilampiri dengan surat
persetujuan pemberian TUP dari Kepala KPPN;
c. Penyampaian SPM-LS dilampiri dengan Surat Setoran
Pajak (SSP) dan/atau bukti setor lainnya, dan/atau
daftar nominatif untuk yang lebih dari 1 (satu) penerima.
(3) Khusus untuk penyampaian SPM-LS dalam rangka
pembayaran jaminan uang muka atas perjanjian/kontrak,
juga dilampiri dengan:
a. Asli surat jaminan uang muka;
- 45 -
b. Asli surat kuasa bematerai cukup dari PPK kepada Kepala
KPPN untuk mencairkan jaminan uang muka; dan
c. Asli konfirmasi tertulis dari pimpinan penerbit jaminan
uang muka sesuai Peraturan Presiden mengenai
pengadaan barang/jasa pemerintah.
(4) Khusus untuk penyampaian SPM atas beban
pinjaman/hibah luar negeri, juga dilampiri dengan faktur
pajak.
(5) PPSPM menyampaikan SPM kepada KPPN paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah SPM diterbitkan.
(6) SPM-LS untuk pembayaran gaji induk disampaikan kepada
KPPN paling lambat tanggal 15 sebelum bulan pembayaran.
(7) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur,
penyampaian SPM-LS untuk pembayaran gaji induk kepada
KPPN dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum
tanggal 15.
(8) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
dikecualikan untuk Satker yang kondisi geografis dan
transportasinya sulit, dengan memperhitungkan waktu yang
dapat dipertanggungjawabkan.
(9) Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan oleh petugas
pengantar SPM yang sah dan ditetapkan oleh KPA dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Petugas Pengantar SPM menyampaikan SPM beserta
dokumen pendukung dan ADK SPM melalui front office
Penerimaan SPM pada KPPN;
b. Petugas Pengantar SPM harus menunjukkan Kartu
Identitas Petugas Satker (KIPS) pada saat menyampaikan
SPM kepada Petugas Front Office; dan
c. Dalam hal SPM tidak dapat disampaikan secara langsung
ke KPPN, penyampaian SPM beserta dokumen
pendukung dan ADK SPM dapat melalui Kantor Pos/Jasa
Pengiriman resmi.
(10) Untuk penyampaian SPM melalui kantor pos/jasa
pengiriman resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
huruf c, KPA terlebih dahulu menyampaikan konfirmasi/
pemberitahuan kepada Kepala KPPN.
- 46 -
Bagian Kelima
Mekanisme Penerbitan SP2D
Paragraf Kesatu
Pengujian SPM oleh KPPN
Pasal 60
SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar penerbitan
SP2D.
Pasal 61
(1) Dalam pencairan anggaran belanja negara, KPPN melakukan
penelitian dan pengujian atas SPM yang disampaikan oleh
PPSPM.
(2) Penelitian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4); dan
b. meneliti kebenaran SPM.
(3) Penelitian kebenaran SPM sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, meliputi:
a. meneliti kesesuaian tanda tangan PPSPM pada SPM
dengan spesimen tanda tangan PPSPM pada KPPN;
b. memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah angka dan
huruf pada SPM; dan
c. memeriksa kebenaran penulisan dalam SPM, termasuk
tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
(4) Pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. menguji kebenaran perhitungan angka atas beban APBN
yang tercantum dalam SPM;
b. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/output/jenis
belanja dalam DIPA dengan yang dicantumkan pada
SPM;
c. menguji kesesuaian tagihan dengan data
perjanjian/kontrak atau perubahan data pegawai yang
telah disampaikan kepada KPPN.
d. Menguji persyaratan pencairan dana; dan
e. Menguji kesesuaian nilai potongan pajak yang tercantum
dalam SPM dengan nilai pada SSP.
- 47 -
(5) Pengujian kebenaran perhitungan angka sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pengujian
kebenaran jumlah belanja/pengeluaran dikurangi dengan
jumlah potongan/penerimaan dengan jumlah bersih dalam
SPM.
(6) Pengujian persyaratan pencairan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf d, meliputi:
a. Menguji SPM UP berupa besaran UP yang dapat
diberikan sesuai dengan Pasal 46 ayat (2);
b. Menguji SPM TUP meliputi kesesuaian jumlah uang yang
diajukan pada SPM TUP dengan jumlah uang yang
disetujui Kepala KPPN;
c. Menguji SPM PTUP meliputi jumlah TUP yang diberikan
dengan jumlah uang yang dipertanggungjawabkan dan
kepatuhan jangka waktu pertanggungjawaban;
d. Menguji SPM GUP meliputi batas minimal revolving dari
UP yang dikelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (8);
e. Menguji SPM LS Non Belanja Pegawai berupa kesesuaian
data perjanjian/kontrak pada SPM LS dengan data
perjanjian/kontrak yang tercantum dalam Kartu
Pengawasan Kontrak KPPN; dan
f. Menguji SPM LS Belanja Pegawai sesuai dengan prosedur
standar operasional yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
(7) Dalam hal terdapat UP tahun anggaran sebelumnya belum
dipertanggungjawabkan, pengujian SPM UP sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf (a), meliputi:
a. kesesuaian jumlah uang dan keabsahan bukti setor
pengembalian sisa UP tahun anggaran yang sebelumnya;
atau
b. kesesuaian jumlah potongan UP pada SPM UP dengan
sisa UP tahun anggaran yang sebelumnya;
(8) Dalam hal jumlah uang yang harus dipertanggungjawabkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c kurang dari
jumlah TUP yang diberikan, harus disertai dengan bukti
setor pengembalian TUP yang telah dilakukan konfirmasi
KPPN.
(9) Ketentuan menyertakan bukti setor sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) tidak berlaku dalam hal SPM-PTUP diajukan ke
KPPN dalam rangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1) dan ayat (5) huruf a.
- 48 -
Pasal 62
(1) Dalam rangka pengawasan dan pengamanan terhadap
pengembalian pembayaran jaminan uang muka, KPPN
melakukan pencatatan atas pembayaran jaminan uang muka
menggunakan aplikasi SP2D.
(2) Pencatatan atas pembayaran jaminan uang muka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(3) Kepala KPPN mencairkan jaminan uang muka berdasarkan:
a. Surat Kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (4); dan
b. Surat pernyataan yang ditandatangani oleh KPA yang
menyatakan bahwa telah terjadi pemutusan
perjanjian/kontrak dengan penyedia barang/jasa.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pembayaran,
pengujian, pengembalian, dan penatausahaan jaminan uang
muka diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaaan.
Paragraf Kedua
Penerbitan SP2D
Pasal 63
(1) KPPN menerbitkan SP2D setelah penelitian dan pengujian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 telah memenuhi
syarat.
(2) SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(3) KPPN tidak dapat menerbitkan SP2D apabila Satker belum
mengirimkan:
a. Data perjanjian/kontrak beserta ADK untuk pembayaran
melalui SPM-LS kepada penyedia barang/jasa; atau
b. Daftar perubahan data pegawai beserta ADK yang
disampaikan kepada KPPN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1).
- 49 -
(4) Dalam hal hasil penelitian dan pengujian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 tidak memenuhi syarat,
Kepala KPPN mengembalikan SPM beserta dokumen
pendukung secara tertulis.
(5) Penyelesaian SP2D dilakukan dengan prosedur standar
operasional dan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 64
(1) Pencairan dana berdasarkan SP2D dilakukan melalui
transfer dana dari Kas Negara pada bank operasional kepada
Rekening Pihak Penerima yang ditunjuk pada SP2D.
(2) Bank operasional menyampaikan pemberitahuan kepada
Kepala KPPN dalam hal terjadinya kegagalan transfer dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemberitahuan kegagalan transfer dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memuat data SP2D dan alasan
kegagalan transfer ke rekening yang ditunjuk.
(4) Atas dasar pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Kepala KPPN memberitahukan kepada KPA
kegagalan transfer dana ke rekening yang ditunjuk pada SPM
dan alasannya.
(5) KPA melakukan penelitian atas kegagalan transfer dana
sebagaimana yang tercantum pada SPM dan selanjutnya
menyampaikan perbaikan atau ralat SPM.
(6) Atas dasar perbaikan atau ralat SPM sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Kepala KPPN menyampaikan ralat SP2D
kepada bank operasional.
(7) Tata cara penyelesaian pencairan dana dengan mekanisme
retur SP2D diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Bagian Keenam
Pembayaran Pengembalian Penerimaan
Pasal 65
(1) Setiap keterlanjuran setoran ke Kas Negara dan/atau
kelebihan penerimaan negara dapat dimintakan
pengembaliannya.
(2) Permintaan pengembalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan surat-surat bukti
setoran yang sah.
(3) Pembayaran pengembalian keterlanjuran setoran dan/atau
- 50 -
kelebihan penerimaan negara harus diperhitungkan terlebih
dahulu dengan utang pada negara.
(4) Pembayaran pengembalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan berdasarkan mekanisme yang diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Bagian Ketujuh
Pembayaran Tagihan Yang Bersumber
Dari Penggunaan PNBP
Pasal 66
Pembayaran tagihan atas beban belanja negara yang bersumber
dari penggunaan PNBP, dilakukan sebagai berikut:
a. Satker pengguna PNBP menggunakan PNBP sesuai dengan
jenis PNBP dan batas tertinggi PNBP yang dapat digunakan
sesuai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
b. Batas tertinggi PNBP yang dapat digunakan sebagaimana
dimaksud pada huruf a merupakan maksimum pencairan
dana yang dapat dilakukan oleh Satker berkenaan.
c. Satker dapat menggunakan PNBP sebagaimana dimaksud
pada huruf a setelah PNBP disetor ke kas negara
berdasarkan konfirmasi dari KPPN.
d. Dalam hal PNBP yang ditetapkan penggunaannya secara
terpusat, pembayaran dilakukan berdasarkan Pagu
Pencairan sesuai Surat Edaran/Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
e. Besarnya pencairan dana PNBP secara keseluruhan tidak
boleh melampaui pagu PNBP Satker yang bersangkutan
dalam DIPA.
f. Dalam hal realisasi PNBP melampaui target dalam DIPA,
penambahan pagu dalam DIPA dilaksanakan setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q Direktur
Jenderal Anggaran.
Pasal 67
(1) Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar 20% (dua
puluh persen) dari realisasi PNBP yang dapat digunakan
sesuai pagu PNBP dalam DIPA maksimum sebesar
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(2) Realisasi PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun
anggaran sebelumnya.
(3) Dalam hal UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP
sebesar kebutuhan riil 1 (satu) bulan dengan memperhatikan
- 51 -
batas Maksimum Pencairan (MP).
(4) Pembayaran UP/TUP untuk Satker Pengguna PNBP
dilakukan terpisah dari UP/TUP yang berasal dari Rupiah
Murni.
(5) Satker pengguna PNBP yang belum memperoleh Maksimum
Pencairan (MP) dana PNBP dapat diberikan UP sebesar
maksimal 1/12 (satu perduabelas) dari pagu dana PNBP
pada DIPA, maksimal sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah).
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat
dilakukan untuk pengguna PNBP:
a. yang telah memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana
PNBP namun belum mencapai 1/12 (satu perduabelas)
dari pagu dana PNBP pada DIPA; atau
b. yang belum memperoleh Pagu Pencairan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 huruf d.
(7) Penggantian UP atas pemberian UP sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah Satker pengguna
PNBP memperoleh Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP
paling sedikit sebesar UP yang diberikan.
(8) Penyesuaian besaran UP dapat dilakukan terhadap Satker
pengguna PNBP yang telah memperoleh Maksimum
Pencairan (MP) dana PNBP melebihi UP yang telah diberikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6).
(9) Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimal
sesuai formula sebagai berikut:
MP = (PPP x JS) – JPS
MP
PPP
::
Maksimum Pencairan
proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan
sesuai dengan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan
JS
JPS
::jumlah setoran
jumlah pencairan dana sebelumnya sampai
dengan SPM terakhir yang diterbitkan
(10) Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran
sebelumnya dari Satker pengguna, dapat dipergunakan
untuk membiayai kegiatan-kegiatan tahun anggaran berjalan
setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif.
Pasal 68
(1) Tata cara penerbitan dan pengujian SPP dan SPM-UP/
TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS dari dana yang bersumber
dari PNBP mengacu pada mekanisme dalam Peraturan
Menteri ini.
- 52 -
(2) PPSPM menyampaikan SPM-UP/TUP/PTUP/GUP/GUP
Nihil/LS beserta ADK SPM kepada KPPN dengan dilampiri:
a. Dokumen pendukung SPM sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) dan ayat (3);
b. bukti setor PNBP yang telah dikonfirmasi oleh KPPN; dan
c. Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP)
dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(3) Untuk Satker pengguna PNBP secara terpusat, penyampaian
SPM mengacu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59.
(4) KPPN melakukan penelitian terhadap kebenaran perhitungan
dalam Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
Bagian Kedelapan
Pembayaran Tagihan Untuk Kegiatan Yang Bersumber
Dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
Pasal 69
(1) Penerbitan SPP, SPM dan SP2D untuk kegiatan yang
sebagian/seluruhnya bersumber dari Pinjaman dan/atau
Hibah Luar Negeri, mengikuti ketentuan mengenai kategori,
porsi pembiayaan, tanggal closing date dan persetujuan
pembayaran dari pemberi pinjaman dan/atau hibah luar
negeri sesuai dengan petunjuk pelaksanaan pencairan dana
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri berkenaan.
(2) Penerbitan SPP-LS, SPM-LS, dan SP2D-LS atas tagihan
berdasarkan perjanjian/kontrak dalam valuta asing (valas)
dan/atau pembayaran ke luar negeri mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. Perjanjian/kontrak dalam valas tidak dapat dikonversi
ke dalam rupiah; dan
b. Pengajuan SPM disampaikan kepada KPPN Khusus
Jakarta VI.
(3) Penerbitan SPP-UP/TUP, SPM-UP/TUP, dan SP2D-UP/TUP
menjadi beban dana Rupiah Murni.
(4) Pertanggungjawaban dan penggantian dana Rupiah Murni
atas SP2D-UP/TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dilakukan dengan penerbitan SPP-GUP/GUP Nihil/PTUP,
SPM-GUP/GUP Nihil/PTUP, dan SP2D-GUP/GUP Nihil/PTUP
yang menjadi beban Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri
- 53 -
berkenaan.
(5) Dalam hal terjadi penguatan nilai tukar (kurs) Rupiah
terhadap valas yang menyebabkan alokasi dana Rupiah pada
DIPA melampaui sisa Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri,
sebelum dilakukan penerbitan SPP, Satker harus melakukan
perhitungan dan/atau konfirmasi kepada Executing Agency
agar tidak terjadi pembayaran yang melampaui sisa
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri berkenaan.
(6) Pengeluaran atas SP2D dengan sumber dana dari Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam dokumen Perjanjian
Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, atau pengeluaran
setelah Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri dinyatakan
closing date dikategorikan sebagai pengeluaran ineligible.
(7) Atas pengeluaran yang dikategorikan ineligible sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Perbendaharaan
menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan
Kementerian Negara/Lembaga dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Anggaran.
(8) Penggantian atas pengeluaran yang dikategorikan ineligible
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi tanggung
jawab Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan dan
harus diperhitungkan dalam revisi DIPA tahun anggaran
berjalan atau dibebankan dalam DIPA tahun anggaran
berikutnya.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk pelaksanaan
pencairan dana Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri diatur
oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VI
KOREKSI/RALAT, PEMBATALAN SPP, SPM DAN SP2D
Pasal 70
(1) Koreksi/ralat SPP, SPM, dan SP2D hanya dapat dilakukan
sepanjang tidak mengakibatkan:
a. Perubahan jumlah uang pada SPP, SPM dan SP2D;
b. Sisa pagu anggaran pada DIPA/POK menjadi minus; atau
c. perubahan kode Bagian Anggaran, eselon I, dan Satker.
(2) Dalam hal diperlukan perubahan kode Bagian Anggaran,
eselon I, dan Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan.
- 54 -
(3) Koreksi/ralat SPP, SPM, dan SP2D dapat dilakukan untuk:
a. Memperbaiki uraian pengeluaran dan kode BAS selain
perubahan kode sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c;
b. pencantuman kode pada SPM yang meliputi kode jenis
SPM, cara bayar, tahun anggaran, jenis pembayaran,
sifat pembayaran, sumber dana, cara penarikan, nomor
register; atau
c. koreksi/ralat penulisan nomor dan nama rekening, nama
bank yang tercantum pada SPP, SPM dan SP2D beserta
dokumen pendukungnya yang disebabkan terjadinya
kegagalan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64.
(4) Koreksi/ralat SPM dan ADK SPM hanya dapat dilakukan
berdasarkan permintaan koreksi/ralat SPM dan ADK SPM
secara tertulis dari PPK.
(5) Koreksi/ralat kode mata anggaran pengeluaran (akun 6 digit)
pada ADK SPM dapat dilakukan berdasarkan permintaan
koreksi/ralat ADK SPM secara tertulis dari PPK sepanjang
tidak mengubah SPM.
(6) Koreksi/ralat SP2D hanya dapat dilakukan berdasarkan
permintaan koreksi SP2D secara tertulis dari PPSPM dengan
disertai SPM dan ADK yang telah diperbaiki.
Pasal 71
(1) Pembatalan SPP hanya dapat dilakukan oleh PPK sepanjang
SP2D belum diterbitkan.
(2) Pembatalan SPM hanya dapat dilakukan oleh PPSPM secara
tertulis sepanjang SP2D belum diterbitkan.
(3) Dalam hal SP2D telah diterbitkan dan belum mendebet kas
negara, pembatalan SPM dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharaan atau pejabat
yang ditunjuk.
(4) Koreksi SP2D atau daftar nominatif untuk penerima lebih
dari satu rekening hanya dapat dilakukan oleh Kepala KPPN
berdasarkan permintaan KPA.
(5) Pembatalan SP2D tidak dapat dilakukan dalam hal SP2D
telah mendebet Kas Negara.
- 55 -
BAB VII
PELAKSANAAN PEMBAYARAN
PADA AKHIR TAHUN ANGGARAN
Pasal 72
(1) Dalam kondisi akhir tahun anggaran, batas terakhir
pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan sebelum
tanggal terakhir pada akhir tahun.
(2) Penetapan batas terakhir pembayaran dilakukan dengan
mempertimbangkan kebutuhan BUN untuk menyelesaikan
administrasi pengelolaan kas negara.
Pasal 73
(1) Dalam pertanggungjawaban UP/TUP pada akhir tahun
anggaran, pengajuan SPM dan SP2D GUP Nihil/PTUP dapat
dilakukan melampaui tahun anggaran.
(2) Batas akhir penerbitan SPM GUP Nihil/PTUP ditetapkan
dengan mempertimbangkan kelancaran penyusunan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat.
Pasal 74
Pelaksanaan pembayaran pada akhir tahun anggaran lebih lanjut
mempedomani Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai langkah-langkah dalam menghadapi akhir tahun
anggaran.
BAB VIII
PELAPORAN REALISASI ANGGARAN
Pasal 75
(1) Dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN diperlukan data realisasi APBN, arus kas,
neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Kepala kantor/Satker selaku Unit Akuntansi Kuasa
Pengguna Anggaran (UAKPA) setiap bulan harus
melakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran dengan
Kepala KPPN selaku Kuasa BUN;
b. Rekonsiliasi data realisasi anggaran sebagaimana
dimaksud pada huruf a meliputi:
1. Data bagian anggaran;
2. Eselon I;
- 56 -
3. Satker;
4. Sumber dana;
5. Cara penarikan;
6. Program;
7. Kegiatan;
8. Output;
9. Akun 6 digit;
10. Tanggal dan nomor SPM/SP2D; dan
11. Jumlah rupiah.
c. Hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud huruf a
dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi (BAR),
selanjutnya setiap awal bulan:
1. Kepala kantor/Satker menyampaikan Laporan
Realisasi Anggaran (LRA) dan Neraca beserta ADK
kepada Unit Akuntansi Pembantu Pengguna
Anggaran tingkat wilayah (UAPPAW); atau
2. Kepala KPPN selaku Kuasa BUN membuat laporan
realisasi anggaran, arus kas, dan neraca kepada
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan untuk diproses dan selanjutnya
diteruskan kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan u.p Direktur Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan.
d. Untuk laporan keuangan semester dan tahunan, LRA,
Neraca dan ADK disertai dengan Catatan atas Laporan
Keuangan (CaLK).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
BAB IX
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 76
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga menyelenggarakan pengawasan
dan pengendalian internal terhadap pelaksanaan anggaran
Satker di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga masingmasing.
(2) Pengawasan dan pengendalian internal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- 57 -
BAB X
MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN ANGGARAN
Pasal 77
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA melakukan monitoring
dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran
Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya.
(2) Menteri Keuangan selaku BUN dapat melakukan monitoring
dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara monitoring dan
evaluasi pelaksanaan anggaran diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Segala ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran
atas beban APBN sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Ketentuan teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan
pembayaran atas beban APBN sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri ini, diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
Pasal 80
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005
tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara beserta peraturan
pelaksanaannya; dan
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010
tentang Penyelesaian Tagihan Atas Beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Pada Satuan Kerja;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 58 -
Pasal 81
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D. W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 November 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1191